Sejarah Wonosobo: Dari Nenek Moyang, Legenda, hingga Kota Modern
Senin, 18 Agustus 2025
Tambah Komentar
Wonosobo, kota yang terletak di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, memiliki sejarah yang panjang dan kaya, penuh dengan legenda, tokoh pendiri, perjuangan rakyat, serta perkembangan budaya dan ekonomi yang menarik. Nama “Wonosobo” diyakini berasal dari kata “Wanasaba”, sebuah dusun kecil di Desa Plobangan, Selomerto. Dalam bahasa Jawa kuno, “Wana” berarti hutan dan “Saba” berarti pertemuan atau tempat berkumpul, menggambarkan asal-usul wilayah ini sebagai hutan lebat yang menjadi pusat pemukiman awal. Sungai-sungai kecil, mata air alami, dan tanah subur di dataran tinggi Dieng membuat Wonosobo menjadi tempat ideal untuk bertani dan menetap, sekaligus membentuk pusat kegiatan sosial dan budaya masyarakat Jawa awal.
Sejak abad ke-17, wilayah ini masih berupa hutan belantara. Pada awal tahun 1600-an, tiga pengembara yang legendaris datang ke Wonosobo, Kyai Walik, Kyai Kolodete dan Kyai Karim. Ketiga tokoh ini membuka hutan dan membangun permukiman pertama. Kyai Walik menetap di wilayah yang kini menjadi Kota Wonosobo.
Kyai Kolodete membuka permukiman di Dataran Tinggi Dieng.
Lalu Kyai Karim bermukim di Kalibeber. Dari keturunan mereka lahirlah para pemimpin lokal yang kemudian menjadi penguasa wilayah ini, yang menjaga ketertiban masyarakat dan melestarikan adat serta tradisi.
Setelah era pendirian awal, beberapa tokoh penguasa muncul untuk memimpin wilayah ini. Di antaranya adalah Tumenggung Kartowaseso dengan pusat kekuasaan di Selomanik, Tumenggung Wiroduta yang awalnya memerintah di Pecekelan, Kalilusi, lalu memindahkan pusatnya ke Ledok (sekarang Plobangan), dan Ki Singowedono, cucu Kyai Karim, yang diberi gelar Tumenggung Jogonegoro oleh Keraton Mataram dan mendapat wilayah Selomerto. Para penguasa ini menjaga stabilitas, mengatur pemukiman, dan melestarikan tradisi serta ritual adat masyarakat, sekaligus memperkuat struktur sosial dan ekonomi wilayah.
Wilayah Selomerto, tempat asal dusun Wanasaba, diyakini menjadi cikal bakal nama Wonosobo. Dusun ini tetap ada hingga kini dan menjadi pusat ziarah bagi masyarakat yang berdoa di makam tokoh-tokoh legendaris seperti Kyai Wanasaba, Kyai Goplem, Kyai Putih, dan Kyai Wan Haji. Keberadaan makam-makam ini menunjukkan bagaimana masyarakat Wonosobo menghormati leluhur sekaligus menjaga ikatan spiritual dengan tanah dan sejarahnya.
Pada awal abad ke-19, Wonosobo memainkan peran penting dalam Perang Diponegoro (1825–1830). Wilayah ini menjadi basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro karena kondisi alam yang menguntungkan, pegunungan, lembah, dan hutan lebat—yang mudah dijadikan lokasi pertempuran dan pengintaian. Tokoh penting dari Wonosobo yang memimpin perjuangan ini adalah Ki Muhammad Ngarpah, yang kemudian dianugerahi gelar Tumenggung Setjonegoro oleh Pangeran Diponegoro.
Bersama pemimpin lain seperti Mulyosentiko, Ki Muhammad Ngarpah memimpin pasukan menghadang pasukan Belanda di Legorok, berhasil menewaskan banyak tentara Belanda, serta merebut harta rampasan. Keberhasilan ini menjadi kemenangan pertama bagi pasukan Diponegoro dan menjadi titik awal kekuasaan resmi Tumenggung Setjonegoro di Ledok, yang kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi Kota Wonosobo saat ini.
Era kolonial Belanda membawa perubahan administratif dan ekonomi. Wonosobo menjadi bagian wilayah Kedu, dengan pembangunan jalan penghubung ke kota-kota lain. Pasar, sekolah dan kantor pemerintahan mulai berdiri, memudahkan perdagangan hasil bumi seperti sayuran, padi, kopi, dan rempah. Masyarakat menyesuaikan diri dengan sistem kolonial, namun tetap mempertahankan adat, tradisi, dan ritual leluhur. Perpaduan antara pengaruh kolonial dan budaya lokal ini membentuk identitas unik Wonosobo yang bertahan hingga era modern.
Selain sejarah perjuangan dan pendirian kota, Wonosobo dikenal karena kekayaan wisata alam dan budaya. Dataran tinggi Dieng menawarkan panorama pegunungan, kawah aktif, dan danau vulkanik. Kawasan wisata Dieng Plateau menjadi tujuan populer bagi wisatawan lokal maupun mancanegara, dengan atraksi seperti Telaga Warna, Kawah Sikidang, dan Candi Arjuna. Wonosobo juga terkenal dengan budaya etnik seperti seni musik tradisional gamelan, tarian, dan upacara adat yang masih dijalankan masyarakat. Festival Dieng Culture Festival menjadi contoh bagaimana tradisi dikemas menjadi daya tarik wisata yang menarik.
Dalam aspek ekonomi dan teknologi, Wonosobo telah berkembang dari kota agraris menjadi pusat perdagangan modern. Produk pertanian seperti kentang, bawang, dan sayuran segar diekspor ke berbagai wilayah, sementara pasar tradisional bersanding dengan pusat belanja modern. Infrastruktur jalan, telekomunikasi, dan teknologi informasi turut mendukung pertumbuhan ekonomi dan pariwisata, membuat Wonosobo menjadi kota yang semakin terhubung dengan dunia luar.
Wonosobo juga dikenal sebagai kota dengan kuliner khas yang menonjolkan bahan lokal, seperti tempe mendoan, kentang Dieng dan aneka hasil bumi olahan lainnya. Aktivitas kuliner ini menjadi bagian dari pengalaman wisata, menggabungkan sejarah, budaya, dan keindahan alam. Setiap kunjungan ke Wonosobo tidak hanya menawarkan panorama alam, tetapi juga perjalanan pengetahuan tentang sejarah, perjuangan, dan budaya masyarakatnya.
Dengan demikian, Wonosobo adalah kota yang lahir dari keselarasan manusia dengan alam, diwarisi oleh nenek moyang Jawa, diperkaya legenda dan tokoh pendiri, serta dibentuk oleh perjuangan rakyat melawan kolonialisme Belanda. Sungai, hutan, pegunungan dan dataran tinggi bukan hanya latar geografis, tetapi simbol identitas budaya dan sejarah. Dari Kyai Walik, Kyai Kolodete, dan Kyai Karim, hingga Tumenggung Setjonegoro yang memimpin kota modern, serta generasi masa kini yang mengembangkan ekonomi, teknologi dan pariwisata, Wonosobo menunjukkan perpaduan antara sejarah, legenda, dan modernitas.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Wonosobo: Dari Nenek Moyang, Legenda, hingga Kota Modern"
Posting Komentar