Latar Belakang Serta Kronologi Operasi Seroja 1975 Dan Kontroversinya


Latar Belakang Serta Kronologi Operasi Seroja 1975 Dan Kontroversinya


Operasi Seroja merupakan operasi militer terbesar yang pernah dilakukan oleh Republik Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. 
Tujuan Operasi ini dilancarkan yaitu untuk mengintegrasikan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Nama operasi tersebut berasal dari kata “Seroja” yang berarti bunga lotus, sebagai sandi bagi operasi besar setelah serangkaian operasi pendahuluan seperti Operasi Komodo. 

Latar belakang dari operasi ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik internasional pasca-Perang Dunia II dan jatuhnya kekuasaan kolonial Portugis di Timor Timur. Pada April 1974, terjadi Revolusi Anyelir di Portugal yang menggulingkan rezim diktator Estado Novo, sehingga pemerintahan Portugis baru mengambil kebijakan dekolonisasi atas seluruh wilayah jajahan, termasuk Timor Timur. Kekosongan kekuasaan ini memicu munculnya tiga kekuatan utama di Timor Timur, yaitu União Democrática Timorense (UDT) yang pro-unifikasi dengan Portugal, Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) yang menginginkan kemerdekaan penuh.
Serta Apodeti (Associação Popular Democrática de Timor) yang mendorong integrasi dengan Indonesia. 

Persaingan politik di antara ketiga pihak ini kemudian memicu perang saudara pada Agustus 1975, ketika UDT melancarkan kudeta terhadap Fretilin. Fretilin yang memiliki basis milisi lebih kuat berhasil menguasai sebagian besar wilayah dan pada tanggal 28 November 1975 mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur secara sepihak. Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, melihat deklarasi tersebut sebagai ancaman geopolitik, terutama karena Fretilin dianggap memiliki ideologi sosialis kiri yang dikhawatirkan dapat membawa pengaruh komunisme di Asia Tenggara pada masa Perang Dingin. 

Dalam situasi ini, Indonesia merasa perlu melakukan tindakan militer untuk mencegah pengaruh asing yang dianggap akan menciptakan negara boneka komunis di kawasan tersebut. Maka, Indonesia memulai operasi bawah tanah bernama Operasi Komodo yang melibatkan infiltrasi pasukan dan dukungan terhadap kelompok pro-integrasi seperti Apodeti dan sebagian bekas anggota UDT. Namun, karena Fretilin tetap menguasai wilayah strategis dan membentuk pemerintahan de facto, maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk melaksanakan invasi militer terbuka yang kemudian dikenal sebagai Operasi Seroja.

Operasi Seroja resmi dimulai pada tanggal 7 Desember 1975. Ketika itu Pasukan ABRI yang dipimpin langsung oleh Panglima TNI Jenderal M. Jusuf dan didukung instruksi langsung Presiden Soeharto, melibatkan unsur Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, serta pasukan khusus Kopassandha (kini Kopassus). Invasi diawali dengan serangan udara besar terhadap kota Dili, ibu kota Timor Timur. Sebelum serangan udara, pasukan khusus Indonesia telah menyusup ke wilayah itu melalui jalur darat dan laut. Pada pagi hari tanggal 7 Desember, pesawat A-4 Skyhawk dan Hercules C-130 TNI AU menggempur posisi Fretilin di sekitar Dili, diikuti pendaratan pasukan payung di Bandara Comoro. Dalam waktu singkat, pasukan Indonesia berhasil menguasai pusat kota Dili. Setelah Dili jatuh, sasaran selanjutnya adalah kota-kota strategis lain seperti Baucau, Liquica, Maubara dan lainnya. 
Pasukan marinir TNI AL melakukan pendaratan amfibi di pantai-pantai wilayah utara dan timur, sementara pasukan darat TNI AD bergerak melalui daratan perbukitan dan lembah untuk mengepung pertahanan Fretilin. Kronologi selanjutnya menunjukkan bahwa pada 10 Desember, Baucau berhasil dikuasai. 

Operasi ini terus berlangsung intens hingga akhir tahun 1975 dan awal 1976, termasuk pengejaran terhadap tokoh-tokoh Fretilin yang melarikan diri ke daerah pedalaman. Salah satu tokoh Fretilin yang menjadi sasaran utama ialah Nicolau Lobato, yang kemudian tetap melakukan perlawanan gerilya bahkan setelah struktur pemerintahan Fretilin runtuh. Meski ibu kota dapat dikuasai, sisa-sisa pasukan Fretilin melancarkan perang gerilya di pegunungan dan hutan, sehingga konflik militer terus berlangsung bertahun-tahun setelah invasi dilakukan.

Dalam perjalanan kronologi Operasi Seroja, terjadi pula operasi lanjutan berupa penegakan wilayah administratif yang kemudian menghasilkan Deklarasi Balibo di mana lima partai kecil Timor Timur menyatakan kehendak bergabung dengan Indonesia. Pada bulan Juli 1976, Indonesia secara resmi mengintegrasikan Timor Timur sebagai provinsi ke-27 Republik Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 1976. 

Namun, status ini tidak diakui oleh sebagian besar komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pengakuan terhadap integrasi tersebut hanya datang dari sedikit negara di dunia. Indonesia kemudian membentuk pemerintahan sipil dan melibatkan masyarakat lokal pro-integrasi, namun perlawanan bersenjata Fretilin tetap berlangsung hingga 1980an dan 1990an. 

Pemerintah Indonesia melakukan operasi militer penumpasan terhadap gerilyawan Fretilin, yang dipersepsikan sebagai kegiatan kontra-subversif nasional. 
Dalam praktiknya, banyak laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penangkapan, pengungsian paksa, serta hilangnya warga sipil yang dicurigai mendukung Fretilin. Laporan-laporan tersebut membuat sorotan internasional terhadap Indonesia semakin keras, terutama dari negara-negara Barat dan Gereja Katolik.

Pertempuran-pertempuran tentara Indonesia melawan Fretilin di daerah pegunungan membuat konflik menjadi berkepanjangan. Walaupun secara administratif Timor Timur telah menjadi bagian dari Indonesia, secara de facto wilayah tersebut belum benar-benar stabil. Pada akhir tahun 1980-an, pemerintah Indonesia membangun berbagai sarana infrastruktur dan program transmigrasi, namun perlawanan gerilya dan rasa ketidakpuasan sebagian penduduk tetap ada. 

Nama Xanana Gusmão kemudian muncul sebagai salah satu pemimpin gerilyawan yang menyatukan sisa-sisa kekuatan Fretilin di bawah wadah perjuangan baru yang disebut Falintil. Pada dekade 1990-an, terutama setelah jatuhnya tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin, kepentingan geopolitik dunia terhadap isu anti komunisme berkurang, sehingga tekanan internasional terhadap Indonesia terkait Timor Timur semakin meningkat. Insiden pelanggaran HAM seperti Peristiwa Santa Cruz tahun 1991 di Dili memicu kecaman global dan mendorong munculnya aktivisme internasional serta tekanan diplomatik terhadap pemerintah Indonesia.

Kondisi ini terus menekan Indonesia, dan setelah kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998, pemerintahan dibawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie membuka ruang reformasi dan bersedia memberikan opsi referendum bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib mereka sendiri hingga Pada tanggal 30 Agustus 1999, digelar referendum yang diawasi oleh PBB, dan mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka dari Indonesia. Namun sayangnya Peristiwa ini diikuti kekerasan dan kerusuhan oleh kelompok pro-integrasi, sehingga pasukan internasional INTERFET yang dipimpin Australia masuk demi menstabilkan daerah tersebut. 

Hingga akhirnya Timor Timur menjadi wilayah administrasi sementara di bawah PBB dan secara resmi merdeka pada tahun 2002 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste. 
Dengan demikian, Operasi Seroja yang bertujuan mengintegrasikan Timor Timur ke dalam Indonesia hanya berhasil sementara secara militer, tetapi tidak bertahan secara politik. Konflik tersebut menjadi salah satu bab paling kontroversial dalam sejarah militer Indonesia, karena selain menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak, juga memunculkan kritik tajam terhadap pendekatan militeristik dan pelanggaran HAM.

Operasi Seroja dari perspektif politik Indonesia, pada awalnya dipandang sebagai bagian dari doktrin keamanan nasional Orde Baru untuk mencegah munculnya negara kecil yang dapat dijadikan basis komunisme di wilayah Asia Tenggara. Namun seiring perkembangan zaman, pandangan kritis muncul bahwa operasi tersebut lebih bercorak ekspansionistik dan kurang mempertimbangkan aspirasi lokal. Pemerintah Indonesia juga dinilai tidak memberi ruang diplomasi penuh terhadap Fretilin sebelum mengambil langkah militer. 

Beberapa tokoh militer yang berperan penting dalam operasi ini selain Jenderal M. Jusuf antara lain Mayor Jenderal Benny Moerdani yang kemudian dikenal sebagai tokoh intelijen dan perencana operasi-operasi militer tingkat tinggi. Selain itu, tokoh-tokoh Fretilin seperti José Ramos-Horta dan Mari Alkatiri membawa isu Timor Timur ke forum internasional dan berhasil mendapatkan dukungan moral dari berbagai negara serta meraih perhatian organisasi internasional seperti Komisi HAM PBB dan Vatikan.

Dalam jangka panjang, pengalaman Operasi Seroja memberikan pelajaran penting bagi militer Indonesia dan negara-negara lain bahwa operasi militer skala besar tanpa legitimasi internasional dan tanpa dukungan penuh dari rakyat lokal dapat berakhir menjadi konflik berkepanjangan. Meskipun Indonesia mengklaim operasi tersebut sebagai upaya menjaga stabilitas regional, namun fakta sejarah mencatat bahwa dampaknya justru melahirkan konflik gerilya selama puluhan tahun serta tekanan internasional yang pada akhirnya membuat Indonesia membuka ruang referendum dan kehilangan wilayah tersebut secara formal. 

Dari sisi sejarah militer, Operasi Seroja menunjukkan kemampuan strategis Indonesia dalam melaksanakan operasi gabungan darat, laut dan udara secara serentak, namun juga mencerminkan keterbatasan ketika berhadapan dengan perang gerilya dan aspek politik ideologis. Selain itu, masalah pelanggaran HAM yang mencuat hingga ke forum internasional membayangi reputasi Indonesia dalam diplomasi luar negeri.

Secara keseluruhan, Operasi Seroja merupakan operasi militer monumental pada era Orde Baru yang didorong oleh kekhawatiran geopolitik atas pengaruh komunisme di Timor Timur. Operasi ini sukses secara taktis dalam merebut wilayah dalam waktu relatif cepat, namun gagal dalam membangun legitimasi jangka panjang karena timbulnya perang gerilya Fretilin dan kritik internasional yang keras terhadap tindakan Indonesia. Meski Indonesia berhasil mengintegrasikan wilayah tersebut secara administratif pada tahun 1976, namun pada akhirnya wilayah tersebut melepaskan diri melalui referendum 1999 dan merdeka pada 2002. Operasi ini meninggalkan dampak mendalam terhadap sejarah politik dan militer Indonesia, termasuk pelajaran mengenai pentingnya legitimasi, pendekatan diplomatik, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam penyelesaian konflik.

Belum ada Komentar untuk "Latar Belakang Serta Kronologi Operasi Seroja 1975 Dan Kontroversinya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel