Biografi Mao Zedong Pendiri Republik Rakyat Tiongkok dan Peran Besarnya dalam Sejarah


Biografi Mao Zedong Pendiri Republik Rakyat Tiongkok dan Peran Besarnya dalam Sejarah



Di awal musim dingin 1893, di sebuah desa kecil bernama Shaoshan di Provinsi Hunan, lahirlah seorang bayi yang kelak akan mengguncang sejarah Tiongkok dan dunia. Bayi itu diberi nama Mao Zedong. Ia lahir dari keluarga petani sederhana, namun berbeda dari kebanyakan anak desa pada masanya, Mao tumbuh dengan rasa ingin tahu yang luar biasa dan tekad yang keras. Ayahnya, Mao Shunsheng, seorang petani yang kemudian sukses menjadi pedagang biji-bijian. Ibunya, Wen Qimei, sosok lembut dan religius yang memperkenalkan Mao pada nilai-nilai moral dan rasa empati.

Masa kecil Mao tidak jauh berbeda dari anak-anak desa lainnya, Ia membantu orang tua di ladang, menggembala ternak, dan belajar membaca di sekolah lokal. Namun, sejak remaja ia mulai haus akan pengetahuan. Ketika Revolusi Xinhai 1911 meletus dan menggulingkan Dinasti Qing, Mao muda yang baru berusia 18 tahun sudah merasakan gelombang perubahan besar di negerinya. Ia mulai membaca buku-buku tentang sejarah Tiongkok, strategi perang, dan filsafat Barat. Pemikiran tokoh-tokoh seperti Sun Yat-sen, Napoleon Bonaparte, dan George Washington menginspirasinya.

Pada awal 1920-an, Mao Zedong melanjutkan pendidikan di Changsha dan kemudian di Beijing. Di Beijing, ia bekerja di Perpustakaan Universitas Peking, di mana ia berkenalan dengan ide-ide Marxisme yang sedang populer di kalangan intelektual muda Tiongkok. Pertemuan dengan Li Dazhao, salah satu pendiri Partai Komunis Tiongkok (PKT), menjadi titik balik penting. Mao menemukan ideologi yang baginya mampu menjawab penderitaan rakyat Tiongkok, yaitu Ideologi komunisme.

Tahun 1921, Mao ikut mendirikan Partai Komunis Tiongkok bersama 12 delegasi lainnya di Shanghai. Saat itu PKT hanyalah kelompok kecil dengan segelintir anggota, namun Mao melihat potensi besar jika partai ini mampu merebut hati kaum petani, bukan hanya buruh kota. Gagasannya ini awalnya dianggap tidak ortodoks oleh banyak pemimpin PKT, karena ajaran Marx-Lenin lebih menekankan kelas pekerja industri. Tetapi Mao memahami kondisi Tiongkok yang mayoritas penduduknya adalah petani miskin, sehingga revolusi tanpa mereka hanyalah mimpi kosong.

Di pertengahan 1920-an, Mao aktif dalam gerakan buruh dan petani, sekaligus menjalin aliansi sementara dengan Kuomintang (KMT) dalam Front Persatuan Pertama melawan para panglima perang yang memecah belah Tiongkok. Namun, aliansi ini runtuh pada 1927 ketika pemimpin KMT, Chiang Kai-shek, melancarkan penumpasan terhadap kaum komunis di Shanghai dan kota-kota lainnya. Ribuan anggota PKT dibantai, dan Mao terpaksa melarikan diri ke pedesaan.

Di pegunungan Jinggangshan, Mao mulai membangun basis gerilya komunis yang mengandalkan strategi perang rakyat,  memobilisasi petani, membentuk pasukan Tentara Merah, dan melancarkan serangan cepat terhadap musuh. Tahun-tahun berikutnya penuh perjuangan keras, namun juga penuh pelajaran. Mao mengembangkan taktik yang menggabungkan perang militer, perang politik, dan perang psikologis, yang kelak menjadi ciri khasnya.

Puncak ujian datang pada 1934, ketika Tentara Merah dipaksa mundur dari basisnya akibat tekanan besar pasukan KMT. Inilah awal Long March, perjalanan epik sejauh lebih dari 9.000 kilometer melintasi gunung, sungai, dan padang salju untuk mencari tempat aman di barat laut Tiongkok. Long March berlangsung selama setahun, penuh penderitaan, kelaparan, dan pertempuran. Dari sekitar 86.000 pasukan yang berangkat, hanya sekitar 8.000 sampai 9.000 yang selamat. Meski secara militer Long March adalah mundur, secara politik ia menjadi legenda yang mengukuhkan kepemimpinan Mao dalam PKT.

Setelah Long March, basis komunis berpindah ke Yan’an, di Provinsi Shaanxi. Di sinilah Mao membangun kembali kekuatan partai, memperkuat doktrin revolusinya, dan menanamkan ide bahwa kaum petani adalah tulang punggung perjuangan. Masa ini juga memperlihatkan kemampuannya membentuk citra sebagai pemimpin sederhana, dekat dengan rakyat, dan tak kenal lelah.

Ketika Jepang menginvasi Tiongkok pada 1937, PKT dan KMT kembali membentuk aliansi sementara dalam Front Persatuan Kedua. Mao memanfaatkan perang ini untuk memperluas pengaruh PKT di wilayah pedesaan, sambil menghindari pertempuran frontal besar-besaran dengan Jepang. Ia lebih fokus memperluas basis rakyat melalui reformasi agraria dan propaganda.

Setelah Jepang kalah pada 1945, perang saudara antara PKT dan KMT meletus kembali. Kali ini, PKT berada di posisi yang jauh lebih kuat. Dengan strategi gerilya yang matang, dukungan petani, dan kelemahan internal KMT, Mao berhasil menguasai sebagian besar Tiongkok daratan. Pada 1 Oktober 1949, di Lapangan Tiananmen, Beijing, Mao Zedong memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Bagi jutaan rakyat miskin, momen ini menjadi simbol akhir penderitaan panjang. Namun, bagi lawan politiknya, ini adalah awal rezim satu partai yang keras.

Awal pemerintahannya difokuskan pada membangun kembali negara yang hancur oleh perang. Mao melancarkan reformasi agraria radikal, membagi tanah kepada petani, dan menasionalisasi industri besar. Pada awal 1950-an, Tiongkok menjalin hubungan erat dengan Uni Soviet, mengadopsi model pembangunan ekonomi terpusat. Namun, hubungan ini memburuk pada akhir dekade tersebut akibat perbedaan ideologi dan kepemimpinan.

Pada 1958, Mao meluncurkan program ambisius bernama Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward), bertujuan memodernisasi pertanian dan industri dalam waktu singkat. Desa-desa dibentuk menjadi komune rakyat, dan jutaan orang dipaksa bekerja di proyek-proyek besar, termasuk pembuatan baja di tungku kecil. Namun, kebijakan ini berakhir sebagai bencana besar, dikarenakan target produksi tidak realistis, laporan palsu merajalela, dan kegagalan panen menyebabkan kelaparan massal yang menewaskan puluhan juta orang. Bencana ini merusak reputasi Mao, meskipun ia tetap mempertahankan kekuasaan.

Tahun 1966, Mao mencoba mengembalikan kendalinya melalui Revolusi Kebudayaan. Ia menyerukan kaum muda untuk “menghancurkan empat yang lama” ide, budaya, kebiasaan, dan tradisi lama serta melawan para “revisionis” dalam partai. Jutaan Pengawal Merah turun ke jalan, menyerang guru, pejabat, bahkan keluarga mereka sendiri. Kekacauan melanda seluruh negeri. Sekolah ditutup, ekonomi terganggu, dan banyak intelektual disiksa atau dibunuh. Bagi Mao, ini adalah upaya “memurnikan” revolusi, Namun bagi banyak korban, ini adalah mimpi buruk yang mengerikan.

Di akhir hidupnya, kesehatan Mao memburuk akibat penyakit pernapasan kronis dan komplikasi lainnya. Meski begitu, ia tetap menjadi simbol tertinggi kekuasaan di Tiongkok. Hubungan Tiongkok dengan dunia luar mulai berubah pada awal 1970-an, terutama setelah kunjungan Presiden AS Richard Nixon ke Beijing pada 1972, sebuah langkah diplomatik bersejarah yang membuka jalan normalisasi hubungan antara dua negara yang sebelumnya bermusuhan.

Mao Zedong meninggal pada 9 September 1976 di usia 82 tahun. Jutaan orang berduka, dan tubuhnya diawetkan di Mausoleum Mao di Lapangan Tiananmen, tempat ia masih “menyambut” pengunjung hingga kini. Warisannya tetap kontroversial, ia dipuji sebagai bapak pendiri Tiongkok modern, namun juga dikritik karena kebijakan yang menyebabkan penderitaan besar. Dalam sejarah resmi Tiongkok, Mao diakui “70 persen benar, 30 persen salah” penilaian yang mencoba menyeimbangkan pencapaian dan kesalahannya.

Hingga hari ini, wajah Mao masih tercetak di uang kertas yuan, potret raksasanya masih menghiasi Tiananmen, dan jutaan rakyat Tiongkok masih mengunjunginya seperti ziarah. Mao Zedong adalah sosok yang membentuk abad ke-20 Tiongkok, sosoknya yang penuh ambisi, penuh kontradiksi, akan terus dikenang dan tak tergantikan dalam sejarah bangsanya.

Belum ada Komentar untuk "Biografi Mao Zedong Pendiri Republik Rakyat Tiongkok dan Peran Besarnya dalam Sejarah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel