Kim Il Sung Pemimpin Besar Korea Utara dan Lahirnya Negara Paling Tertutup di Dunia
Di tengah gejolak politik Asia Timur pada awal abad ke-20, seorang bayi lahir pada tanggal 15 April 1912 di sebuah desa kecil bernama Mangyongdae, dekat Pyongyang, Korea. Bayi itu diberi nama Kim Song Ju, Nama yang kelak berubah menjadi Kim Il Sung, figur yang akan membentuk sejarah Korea Utara selama hampir setengah abad. Tahun kelahirannya bertepatan dengan runtuhnya Dinasti Qing di Tiongkok dan awal Perang Dunia I di Eropa, sementara di tanah kelahirannya, Korea sedang berada di bawah penjajahan Jepang sejak 1910. Kehidupan di bawah kolonialisme Jepang adalah masa yang keras bagi orang Korea, dan kondisi inilah yang membentuk jiwa perlawanan dalam diri Kim sejak kecil.
Ayahnya, Kim Hyong Jik, adalah seorang guru sekaligus aktivis kemerdekaan yang mengajarkan pentingnya pendidikan dan perjuangan melawan penindasan. Sedangkan Ibunya, Kang Pan Sok, dikenal sebagai sosok religius dan penyayang. Namun, keluarga Kim harus menanggung konsekuensi dari aktivitas politik ayahnya. Pada awal 1920-an, mereka terpaksa meninggalkan Korea dan menetap di Manchuria, wilayah yang kini menjadi bagian Tiongkok timur laut, demi menghindari pengawasan dan represi Jepang.
Di Manchuria, Kim muda hidup di tengah ketidakpastian. Jepang yang menguasai wilayah itu secara de facto, sementara gerilyawan anti-Jepang terus bergerak di hutan-hutan dan pegunungan. Saat remaja, Kim Il Sung mulai tertarik pada ide-ide sosialisme dan komunisme yang dibawa oleh aktivis Tiongkok dan Rusia. Ia bergabung dengan kelompok pemuda revolusioner dan mulai terlibat dalam kegiatan anti-Jepang. Masa mudanya penuh dengan cerita heroik, walau sebagian telah dibumbui propaganda dikemudian hari.
Pada usia 17 tahun, Kim Il Sung ditangkap oleh polisi Jepang karena aktivitas politiknya dan dipenjara selama beberapa bulan. Pengalaman itu tidak mematahkan semangatnya. Justru, ia semakin yakin bahwa perlawanan bersenjata adalah jalan satu-satunya untuk mengusir penjajah. Sekitar tahun 1930-an, ia menjadi anggota aktif pasukan gerilya anti-Jepang yang beroperasi di perbatasan Manchuria dan Uni Soviet. Dalam pasukan ini, ia mulai menggunakan nama samaran "Kim Il Sung" nama seorang komandan legendaris yang mungkin sudah tewas, atau menurut beberapa sumber, sengaja diambil untuk menumbuhkan rasa hormat di kalangan rakyat.
Pada tahun 1940, pasukan Kim Il Sung mulai terdesak oleh operasi militer Jepang yang masif. Ia dan rekan-rekannya melarikan diri ke wilayah Uni Soviet, di mana mereka dilatih dan dilengkapi oleh Tentara Merah. Kim sempat mengikuti pelatihan militer di wilayah Khabarovsk, dan di sinilah ia membangun hubungan dengan militer Soviet yang kelak menjadi kunci kebangkitannya. Perang Dunia II menjadi titik balik, dimana setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, Uni Soviet bergerak cepat menguasai bagian utara Korea, sementara Amerika Serikat menguasai bagian selatan.
Pada Masa pasca perang menghadirkan peluang besar bagi Kim Il Sung. Dengan dukungan Uni Soviet, ia kembali ke Korea dan mulai membangun basis kekuasaan di Pyongyang. Soviet melihatnya sebagai sosok yang muda, patuh, dan berpengalaman dalam perlawanan bersenjata, Sebuah kombinasi yang ideal untuk memimpin Korea Utara yang baru dibentuk. Pada 9 September 1948, Kim Il Sung secara resmi diangkat sebagai Perdana Menteri Republik Demokratik Rakyat Korea (RDRK). Sementara itu, di selatan, terbentuk Republik Korea di bawah Syngman Rhee. Pemisahan Korea menjadi dua negara resmi kini tak terelakkan.
Namun, Kim Il Sung punya ambisi lebih besar yaitu menyatukan Korea di bawah kepemimpinannya. Ia percaya bahwa dengan kekuatan militer dan dukungan rakyat, ia bisa menguasai seluruh semenanjung. Pada Juni 1950, dengan restu terselubung dari Josef Stalin dan dukungan dari Mao Zedong, pasukan Korea Utara melancarkan invasi besar-besaran ke Korea Selatan. Perang Korea pun meletus. Dalam waktu singkat, pasukan Kim berhasil merebut hampir seluruh Korea Selatan, termasuk Seoul. Namun, intervensi militer Amerika Serikat dan pasukan PBB membalikkan keadaan. Pasukan Korea Utara terdesak hingga hampir ke perbatasan Tiongkok, sebelum intervensi Tentara Sukarelawan Tiongkok membuat garis depan stabil di sekitar Paralel 38.
Perang Korea berlangsung hingga 1953, berakhir dengan gencatan senjata namun tanpa perjanjian damai resmi. Bagi Kim Il Sung, perang itu adalah bencana sekaligus peluang. Negara hancur lebur, jutaan orang tewas, namun ia berhasil memantapkan kekuasaannya. Ia menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang dianggap pro-Soviet atau pro-Tiongkok, dan membangun kultus kepribadian yang masif. Patung-patungnya mulai menghiasi kota, lagu-lagu pujian dinyanyikan di sekolah, dan media massa hanya memuji kebijaksanaannya.
Di era 1960-an hingga 1970-an, Kim Il Sung membangun ideologi yang disebut Juche, atau "berdikari", yang menekankan kemandirian politik, ekonomi, dan militer. Secara teori, Juche menolak ketergantungan pada negara lain, namun pada praktiknya Korea Utara tetap sangat bergantung pada bantuan dari Soviet dan Tiongkok. Kim memanfaatkan rivalitas kedua negara komunis besar itu untuk mendapatkan bantuan sekaligus menjaga jarak politik dari keduanya.
Pemerintahannya menerapkan sistem ekonomi terencana yang sepenuhnya dikelola negara. Awalnya, kebijakan ini membawa hasil, industri berat berkembang, tingkat melek huruf tinggi, dan Korea Utara bahkan lebih makmur daripada Korea Selatan hingga awal 1970-an. Namun, isolasi ekonomi, kebijakan yang kaku, dan minimnya inovasi membuat pertumbuhan mandek. Sementara itu, di panggung internasional, Kim berusaha tampil sebagai pemimpin gerakan anti-imperialis, menjalin hubungan dengan negara-negara Dunia Ketiga, dan bahkan mengirim bantuan militer ke berbagai negara yang sedang berperang.
Pada 1980-an, Kim Il Sung mulai mempersiapkan suksesi kekuasaan kepada putranya, Kim Jong Il, langkah yang jarang terjadi di negara komunis yang umumnya tidak mengenal pewarisan kekuasaan berdasarkan garis keluarga. Ini menandai dimulainya dinasti politik Kim yang bertahan hingga kini. Meski mendapat kritik dari luar negeri, di dalam negeri suksesi ini dijustifikasi sebagai kelanjutan revolusi.
Kim Il Sung meninggal pada 8 Juli 1994 akibat serangan jantung, di usia 82 tahun. Kematian ini mengguncang rakyat Korea Utara, yang telah menganggapnya sebagai "Pemimpin Abadi". Negara itu memasuki masa berkabung panjang, dan gelar "Presiden Abadi" dianugerahkan kepadanya secara permanen, menjadikan posisi presiden di Korea Utara secara konstitusional tidak dapat diisi oleh siapapun setelahnya.
Warisan Kim Il Sung kompleks dan penuh kontradiksi. Di satu sisi, ia adalah pejuang anti-Jepang yang membangun negara dari reruntuhan perang. Di sisi lain, ia adalah otokrat yang menciptakan rezim totaliter paling tertutup di dunia, dengan pengawasan ketat, pembatasan kebebasan, dan kultus kepribadian yang luar biasa. Kebijakan isolasionisnya membuat rakyat Korea Utara terputus dari dunia luar, sementara ekonominya terjebak dalam stagnasi panjang.
Hingga kini, bayang-bayang Kim Il Sung masih membentuk kehidupan di Korea Utara. Potret dirinya tergantung di setiap rumah, ceritanya diajarkan di sekolah sejak usia dini, dan makam megahnya di Kumsusan Sun Palace menjadi tempat ziarah wajib. Bagi sebagian orang di luar negeri, ia dikenang sebagai diktator; bagi rakyat Korea Utara, ia tetap "Matahari Bangsa".
Belum ada Komentar untuk "Kim Il Sung Pemimpin Besar Korea Utara dan Lahirnya Negara Paling Tertutup di Dunia"
Posting Komentar