Sejarah IMF dan Kontroversinya: Dari Bretton Woods hingga Krisis Indonesia 1998


Sejarah IMF dan Kontroversinya: Dari Bretton Woods hingga Krisis Indonesia 1998



Sejarah lahirnya Dana Moneter Internasional atau IMF tak bisa dipisahkan dari kekacauan ekonomi dunia setelah Perang Dunia I dan terutama setelah meletus nya Perang Dunia II. 
Pada masa itu, dunia baru saja melewati krisis besar bernama Depresi Besar tahun 1930-an, disusul kekacauan mata uang dan kebangkrutan negara akibat perang global. Para pemimpin ekonomi dari 44 negara berkumpul di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, pada tahun 1944 untuk menciptakan sebuah sistem ekonomi global yang lebih stabil dan mencegah terulangnya depresi ekonomi.


Dari konferensi itulah lahir dua lembaga besar yaitu Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, yang bertugas mengatur sistem keuangan global agar tetap stabil, serta memastikan negara-negara anggota bisa mendapatkan bantuan ketika cadangan devisanya runtuh, serta menjaga agar nilai tukar mata uang tidak terlalu liar. 
Awalnya IMF bertugas mengawasi sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) di mana dolar Amerika menjadi pusatnya dan mata uang negara lain dikaitkan dengan dolar dalam batas tertentu. Dengan cadangan emas dan bantuan dana dari negara kaya, IMF punya target sederhana yaitu menolong negara yang defisit neraca pembayaran agar tidak menarik diri dari perdagangan internasional.


Namun dalam perjalanannya IMF berubah menjadi lembaga yang sangat besar kekuasaannya, karena setiap negara yang mengalami krisis neraca pembayaran kemudian datang meminjam uang ke IMF. Pinjaman itu tidak pernah gratis, melainkan selalu disertai kebijakan pengetatan anggaran, reformasi struktural, deregulasi pasar, pengurangan subsidi dan berbagai syarat yang dikenal sebagai conditionalities. IMF menjadi semacam “dokter ekonomi internasional” yang mewajibkan pasiennya melakukan diet ketat dulu sebelum diberi obat.


Pada tahun 1971, sistem Bretton Woods runtuh ketika Amerika Serikat menghentikan hubungan dolar dengan emas dan mata uang mulai mengambang bebas. IMF pun kehilangan fungsi awalnya sebagai pengawas kurs tetap, lalu bertransformasi menjadi pemberi pinjaman terakhir (lender of last resort) bagi negara berutang.


Selama dekade 1970 dan 1980-an, banyak negara Amerika Latin dan Afrika mengalami utang luar negeri yang tak terkendali. IMF hadir dengan resep struktural yang keras, yang kemudian disebut Structural Adjustment Programs (SAP). Negara-negara seperti Meksiko, Argentina dan Brazil harus memangkas subsidi sosial dan membuka pasar demi mendapatkan pinjaman IMF. Banyak kritik muncul karena resep IMF dianggap membawa penderitaan pada rakyat kecil hal ini terjadi karena pengurangan program kesehatan, kenaikan harga pangan karena subsidi dihapus, pemotongan pegawai negeri, serta membebaskan arus barang asing yang mengalahkan industri lokal. Di Afrika, sama halnya, negara-negara seperti Ghana dan Zambia juga menjalankan ‘terapi kejut’ ekonomi agar memenuhi standar IMF, namun rakyat menderita karena harga bahan pokok naik sementara lapangan kerja tidak bertambah.


Kritik terhadap IMF semakin keras ketika krisis ekonomi Asia meledak pada tahun 1997. Krisis ini bermula di Thailand saat mata uang baht jatuh dan cadangan devisa habis untuk mempertahankan nilai tukar. Krisis lalu menyebar ke Indonesia, Korea Selatan, Malaysia dan negara Asia lainnya. IMF turun tangan menawarkan pinjaman besar, tetapi dengan syarat penghapusan subsidi dan pengetatan fiskal bahkan dalam keadaan ekonomi sedang ambruk. 


Di Indonesia, krisis ekonomi berubah menjadi krisis politik. Nilai rupiah jatuh dari sekitar Rp 2.400 per USD menjadi lebih dari Rp 17.000 per USD. Banyak bank kolaps, perusahaan gulung tikar, PHK massal, harga bahan pokok meroket dan rakyat marah. IMF menyetujui paket pinjaman miliaran dolar tetapi bersyarat ketat yaitu mencabut subsidi BBM dan listrik, menutup bank-bank bermasalah, menaikkan suku bunga tinggi untuk menahan mata uang. Ketika harga bensin, listrik, dan beras meningkat drastis, kerusuhan pecah di Jakarta. Sebagian pengamat menyalahkan IMF karena menuntut pengetatan anggaran padahal rakyat sedang kelaparan. Kebijakan IMF dinilai terlalu textbook, memperburuk resesi dan mengguncang stabilitas sosial. Di tengah kekacauan, Presiden Soeharto jatuh pada Mei 1998 setelah tiga dekade berkuasa.


IMF juga dikritik karena selama proses itu seolah menjadi pemilik kebijakan ekonomi Indonesia, memaksa pemerintah menandatangani Letter of Intent berisi daftar panjang reformasi ekonomi tanpa mempertimbangkan kondisi politik dan sosial dalam negeri. Banyak pakar ekonomi Indonesia berpendapat bahwa kebijakan IMF terlalu keras, membuat permintaan domestik jatuh, pengangguran melonjak, dan kemiskinan meluas. Namun di sisi lain, ada juga yang mengatakan bahwa IMF menjadi satu-satunya penyelamat karena cadangan devisa Indonesia habis. Jika IMF tidak datang, mungkin Indonesia akan gagal bayar total dan chaos lebih besar terjadi. Kritik dan pembelaan terhadap IMF terus menjadi perdebatan hingga kini.


Setelah krisis Asia, IMF juga membantu Turki, Rusia dan negara Eropa Timur dengan resep yang mirip, pengurangan defisit, liberalisasi ekonomi, privatisasi BUMN. Di Rusia pada 1998, pinjaman IMF tidak berhasil mencegah default, bahkan memperparah gejolak karena uang yang dipinjam habis untuk membayar utang jangka pendek. Rusia menyalahkan IMF karena program reformasi pasar yang terlalu cepat menyebabkan oligarki menguasai properti negara.


Kritik terbesar terhadap IMF adalah bahwa lembaga ini didominasi oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Dalam struktur voting di IMF, suara ditentukan oleh kontribusi modal (quota). Amerika memiliki sekitar 17% suara, sementara dibutuhkan 85% suara untuk keputusan besar, artinya AS memiliki hak veto de-facto. Negara berkembang hanya memiliki sedikit suara sehingga tidak bisa menentukan kebijakan IMF secara signifikan. Inilah sebabnya mengapa banyak negara mengatakan IMF adalah alat hegemoni ekonomi Barat untuk menekan negara-negara Selatan. IMF dianggap mendikte kebijakan negara miskin sesuai kepentingan investor luar negeri, bukan rakyat lokal.


Pada masa 2000-an, IMF sempat kehilangan relevansi karena banyak negara Asia membangun cadangan devisa besar untuk menghindari perlu pinjam ke IMF lagi. China, India, Korea Selatan dan negara Asia lain belajar dari trauma krisis 1997–1998. Mereka menumpuk cadangan, membuat kerjasama swap mata uang, dan membentuk kerjasama regional seperti Chiang Mai Initiative. Negara-negara itu ingin agar mereka tidak perlu disuruh IMF lagi untuk memotong subsidi ketika krisis. Bahkan banyak negara Amerika Latin seperti Venezuela, Brasil, Argentina berniat keluar dari IMF karena menganggap lembaga ini terlalu mengekang.


Namun, IMF justru mendapatkan peran baru setelah krisis keuangan global 2008. Ketika bank-bank besar di Amerika dan Eropa kolaps, banyak negara Eropa, seperti Yunani, Portugal, dan Irlandia, mengalami krisis utang. IMF kembali turun tangan bersama Uni Eropa dan Bank Sentral Eropa. Kali ini, negara maju yang menjadi pasien IMF. Yunani misalnya, dipaksa melakukan langkah penghematan besar, menurunkan gaji PNS, menaikkan pajak, dan memotong anggaran sosial. Hal ini menyebabkan demonstrasi besar di Athena karena rakyat merasa IMF mengorbankan mereka demi kreditur asing. Di sisi lain, IMF mengatakan bahwa tanpa penghematan, Yunani tidak akan bisa membayar utangnya.


Pada tahun 2010-an, IMF mulai mencoba memperbaiki citra dengan mengakui bahwa penghematan ekstrem bisa dampak negatif jika diterapkan saat ekonomi sedang resesi. IMF mulai menekankan perlunya perlindungan sosial, program bantuan tunai, dan pengurangan ketimpangan agar reformasi tidak brutal. Beberapa laporan IMF mulai menyebut isu keadilan sosial dan ketimpangan sebagai ancaman pertumbuhan ekonomi jangka panjang. IMF juga mulai mendanai proyek reformasi keuangan inklusif, mendukung pemberdayaan perempuan dalam ekonomi, dan isu mitigasi perubahan iklim. Meskipun begitu, banyak kritikus tetap menilai bahwa IMF masih lembaga neoliberal yang terlalu percaya pada deregulasi dan pasar bebas.


Secara internal, IMF dipimpin oleh Direktur Pelaksana (Managing Director), yang secara tradisi selalu berasal dari Eropa, sementara Presiden Bank Dunia berasal dari Amerika Serikat. Inilah kesepakatan tak tertulis antara Barat sejak Bretton Woods. Negara-negara berkembang sudah lama menuntut reformasi representasi agar Asia, Afrika dan Amerika Latin memiliki suara lebih besar, tetapi perubahan berlangsung lambat. IMF memiliki staf ekonom yang sangat pintar dan terdidik, namun banyak berasal dari universitas Barat sehingga cara berpikir dan ideologi institusi ini cenderung seragam.


Jika menilik perannya secara objektif, IMF memang memiliki fungsi penting dalam mencegah kepanikan pasar global. Ketika suatu negara hampir bangkrut karena utang luar negeri dan tidak bisa bayar import pangan atau minyak, IMF datang dengan pinjaman darurat agar sistem keuangan tidak runtuh. Tanpa itu, mungkin terjadi kekacauan yang lebih parah. Namun, resep IMF sering terlalu generik dan kurang mempertimbangkan konteks sosial dan politik masing-masing negara. Seperti memberikan obat yang sama untuk semua pasien, padahal penyakitnya berbeda.


Di Indonesia setelah 1998, pemerintah tetap membayar pinjaman IMF selama bertahun-tahun sambil menjalankan berbagai reformasi ekonomi. Secara perlahan, Indonesia pulih dan menjadi negara demokrasi dengan ekonomi lebih terbuka. Namun kenangan pahit peran IMF membuat banyak orang Indonesia tidak menyukai lembaga ini. Meski demikian, Indonesia kini telah melunasi pinjaman IMF dan bahkan menjadi negara donor kecil bagi IMF melalui skema New Arrangement to Borrow. Ini menunjukkan pergeseran posisi Indonesia dari pasien menjadi mitra.


Dalam sejarah IMF, terlihat bagaimana lembaga yang dibangun dengan tujuan mulia menjaga stabilitas ekonomi dunia ternyata berkembang menjadi kekuatan global dengan pengaruh besar terhadap kebijakan dalam negeri banyak negara terbelakang atau berkembang. Negara-negara miskin yang tergantung pada pinjaman IMF sering tidak memiliki pilihan selain menerima syarat-syarat ketat. Hal inilah yang membuat IMF sering dituduh sebagai instrumen neoimperialisme. Di sisi lain, IMF terus melakukan introspeksi dan mengklaim sedang berubah untuk menjadi lebih inklusif, lebih memperhatikan kemiskinan dan stabilitas sosial, tidak hanya angka makroekonomi.


Kini IMF terlibat pula dalam pembiayaan negara-negara yang terdampak pandemi COVID-19. Sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin kembali bergantung pada IMF untuk pinjaman darurat. IMF menyatakan akan memberikan syarat yang lebih fleksibel dan fokus pada pemulihan kesehatan, namun skeptisisme tetap ada. Banyak kalangan masyarakat sipil internasional menyerukan reformasi struktural di tubuh IMF agar suara negara berkembang lebih besar dan kebijakan yang diterapkan lebih manusiawi.


Dengan perkembangan teknologi, digitalisasi dan ancaman perubahan iklim, peran IMF ke depan akan diuji. Apakah tetap menjadi penjaga stabilitas keuangan internasional, atau berubah menjadi lembaga pembangunan sosial yang lebih empati. Pertanyaan itu masih terbuka.

Belum ada Komentar untuk "Sejarah IMF dan Kontroversinya: Dari Bretton Woods hingga Krisis Indonesia 1998"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel