Mengapa Negara Penuh Potensi Seperti Argentina Terus Didera Krisis Ekonomi


Mengapa Negara Penuh Potensi Seperti Argentina Terus Didera Krisis Ekonomi


Bagaimana mungkin sebuah negara yang diberkahi dengan tanah subur, sumber daya alam melimpah, serta populasi terdidik bisa berulang kali jatuh ke jurang krisis ekonomi? Pertanyaan ini mungkin sudah puluhan kali diajukan oleh para ekonom, politisi, maupun rakyat Argentina sendiri. Argentina sebuah negeri yang pernah dijuluki “mutiara Amerika Selatan”, justru kerap muncul dalam berita internasional karena gagal membayar utang, inflasi yang menembus langit, atau demonstrasi jalanan akibat kebijakan ekonomi yang tidak populer. 


Fenomena ini menimbulkan ironi yang mendalam, mengapa sebuah negara dengan potensi luar biasa justru dikenal sebagai salah satu yang paling tidak stabil secara ekonomi di dunia. 
Krisis yang berulang terjadi bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari kombinasi kompleks antara kesalahan pengelolaan ekonomi, sejarah panjang ketidakstabilan politik, dan kelemahan institusi.


Pada awal abad ke-20, Argentina sebenarnya adalah simbol kemakmuran. Dikenal dengan julukan “gudang roti dunia”, negeri ini menjadi salah satu eksportir gandum dan daging sapi terbesar. Tanahnya yang subur menghasilkan produk pertanian melimpah, sementara sistem peternakan modern menjadikan Argentina sebagai pemain penting dalam perdagangan global. 
Sekitar tahun 1913, Argentina bahkan masuk dalam jajaran sepuluh negara terkaya di dunia, dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan Jerman atau Prancis pada masa itu. Buenos Aires, dengan arsitektur megah ala Eropa dan kehidupan kosmopolitan, dikenal sebagai “Paris di Amerika Selatan”. 


Tidak hanya kekayaan alam, gelombang imigran dari Italia, Spanyol, dan negara-negara Eropa lainnya membawa inovasi, budaya, dan tenaga kerja terampil yang semakin memperkuat fondasi pembangunan Argentina. Pada titik itu, banyak pengamat memprediksi bahwa Argentina akan menjadi salah satu negara besar yang memimpin dunia. Namun, realitas yang terjadi seratus tahun kemudian berbanding terbalik dengan optimisme tersebut.


Akar masalah sebenarnya mulai tampak ketika politik dan ekonomi Argentina semakin erat terikat dengan ideologi populisme. Era Juan Domingo Perón pada pertengahan abad ke-20 menjadi titik penting. Perón muncul sebagai sosok karismatik yang menawarkan janji kesejahteraan kepada kelas pekerja melalui kebijakan pro-buruh, subsidi besar-besaran, dan intervensi negara dalam ekonomi. 
Pada awalnya, kebijakan tersebut memang membawa hasil nyata dimana kala itu standar hidup buruh meningkat, kelas pekerja memiliki suara politik, dan negara seolah menjadi pelindung bagi rakyat kecil. 


Namun, kebijakan populis ini menanamkan ketergantungan besar pada subsidi negara dan defisit anggaran. Negara mengeluarkan banyak biaya tanpa basis pendapatan yang kuat, dan seiring berjalannya waktu, model ini terbukti tidak berkelanjutan. 
Peronisme kemudian berkembang bukan hanya sebagai kebijakan, tetapi sebagai ideologi yang mendominasi politik Argentina hingga hari ini. 
Hampir setiap pemerintahan, baik yang mengaku mendukung maupun yang menentang Peronisme, pada akhirnya harus bergulat dengan warisan politik ini.


Setelah era Perón, Argentina justru masuk ke babak lebih gelap. Kudeta militer terjadi berulang kali, dengan periode paling brutal berlangsung antara 1976 hingga 1983. Rezim militer yang berkuasa dikenal bukan hanya karena pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan dalam apa yang disebut “Perang Kotor”, tetapi juga karena kebijakan ekonominya yang gagal. 
Pemerintah militer menerapkan kebijakan neoliberal yang membuka keran utang luar negeri untuk membiayai pembangunan. 


Namun, utang tersebut lebih banyak digunakan untuk menopang elit tertentu dan proyek-proyek yang tidak produktif. 
Hasilnya, Argentina keluar dari era kediktatoran dengan beban utang luar negeri yang sangat besar, ekonomi yang rapuh, serta masyarakat yang trauma. Transisi menuju demokrasi pada awal 1980-an memang membawa harapan baru, tetapi warisan utang dan lemahnya fondasi ekonomi membuat setiap pemerintahan berikutnya terjebak dalam lingkaran setan krisis.


Krisis ekonomi Argentina selalu berputar pada pola yang sama, utang membengkak, pemerintah kesulitan membayar, lalu inflasi meledak. Pemerintah sering kali memilih jalan pintas dengan mencetak uang untuk menutup defisit, yang justru semakin memperburuk keadaan. 
Akibatnya, peso berulang kali mengalami devaluasi drastis. Salah satu contoh paling dramatis adalah krisis tahun 2001, ketika negara gagal membayar utang luar negeri senilai lebih dari 100 miliar dolar AS, default terbesar dalam sejarah pada saat itu. 


Krisis tersebut menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap sistem keuangan dan memicu kerusuhan sosial. Banyak orang kehilangan tabungan karena pemerintah membekukan rekening bank. Sejak saat itu, kepercayaan terhadap mata uang lokal dan kebijakan pemerintah selalu rapuh. Tidak heran jika sebagian masyarakat Argentina lebih memilih menyimpan dolar AS di bawah kasur dari pada mempercayakan uang mereka pada bank.


Selain siklus utang dan inflasi, korupsi dan lemahnya institusi menjadi faktor penghambat kronis. Argentina memiliki sejarah panjang skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, mulai dari masa Perón hingga era modern. Kasus-kasus besar seperti korupsi infrastruktur, penyalahgunaan dana publik, dan kolusi dengan perusahaan swasta menciptakan iklim bisnis yang penuh ketidakpastian. Lemahnya penegakan hukum memperburuk keadaan, membuat investor asing ragu untuk menanamkan modal jangka panjang. Situasi ini menciptakan paradoks, meskipun Argentina memiliki potensi besar, peluang tersebut sering kali hilang karena tidak adanya kepastian hukum dan tata kelola yang baik.


Kini, di tengah sejarah panjang krisis, Argentina kembali berada di persimpangan jalan dengan terpilihnya Javier Milei sebagai presiden pada 2023. 
Milei, merupakan seorang ekonom liberal dengan gaya eksentrik, muncul sebagai sosok kontroversial yang berjanji memutus lingkaran krisis dengan kebijakan radikal. Ia mengusung program pemotongan besar-besaran pada belanja negara, deregulasi ekonomi, dan bahkan wacana untuk menghapus mata uang peso dengan menggantinya menjadi dolar AS. 
Kebijakan ini, bagi sebagian orang, dianggap sebagai langkah berani yang dibutuhkan Argentina untuk mengakhiri puluhan tahun inflasi dan defisit. Namun bagi sebagian yang lain, kebijakan tersebut justru berpotensi memperdalam penderitaan rakyat kecil karena pemotongan subsidi bisa memukul daya beli masyarakat yang sudah rapuh.


Kebijakan Milei memunculkan perdebatan besar. Di satu sisi, hilangnya subsidi yang selama ini menjadi beban anggaran bisa menyehatkan keuangan negara. Peningkatan investasi mungkin akan terjadi jika pasar melihat komitmen serius pemerintah untuk stabilitas fiskal. 
Namun di sisi lain, sejarah menunjukkan bahwa langkah-langkah penghematan drastis sering kali memicu gejolak sosial di Argentina. Demonstrasi besar sudah mulai muncul, dan pertanyaan besarnya adalah apakah rakyat Argentina sanggup menanggung beban transisi menuju ekonomi yang lebih liberal. Dalam konteks ini, kebijakan Milei bisa dilihat sebagai pertaruhan besar, apakah akan membawa Argentina keluar dari siklus krisis, atau justru menjerumuskannya ke dalam babak instabilitas baru.


Jika ditarik garis besar, masalah Argentina tidak hanya terletak pada kebijakan ekonomi yang salah arah, tetapi juga pada fondasi politik dan institusi yang rapuh. Sejarah panjang populisme telah membentuk budaya politik yang sering kali lebih mengedepankan kepentingan jangka pendek daripada strategi jangka panjang. Siklus krisis terjadi karena setiap pemerintahan lebih fokus pada langkah-langkah cepat yang populer secara politik, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah. Padahal, untuk benar-benar keluar dari jerat krisis, Argentina membutuhkan tata kelola yang kuat, institusi yang bersih dari korupsi, serta kebijakan ekonomi yang konsisten lintas pemerintahan.


Masa depan Argentina masih penuh tanda tanya. Di satu sisi, potensi negara ini tetap besar. Dengan tanah subur, cadangan energi, serta masyarakat yang berpendidikan, Argentina masih bisa menjadi kekuatan ekonomi utama. Namun, untuk mewujudkannya, negara ini harus mampu keluar dari lingkaran setan utang, inflasi, dan korupsi. Apakah kebijakan radikal seperti yang ditawarkan Javier Milei bisa menjadi jalan keluar, atau justru memunculkan krisis baru, masih harus kita tunggu.


Satu hal yang pasti, kisah Argentina adalah pelajaran berharga tentang bagaimana potensi besar bisa terbuang sia-sia jika tidak diiringi dengan tata kelola yang baik dan kebijakan yang berkesinambungan. Argentina pernah menjadi simbol harapan di awal abad ke-20, tetapi kemudian berubah menjadi simbol peringatan bagi negara-negara lain. Pertanyaan yang menggantung hingga kini adalah apakah Argentina mampu keluar dari siklus krisis yang terus berulang, atau akankah sejarah kembali menjeratnya ke dalam jurang yang sama?

Belum ada Komentar untuk "Mengapa Negara Penuh Potensi Seperti Argentina Terus Didera Krisis Ekonomi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel