Mengapa Dahulu Transfusi Darah Begitu Berbahaya? Ini dia Penjelasannya


Mengapa Dahulu Transfusi Darah Begitu Berbahaya? Ini dia Penjelasannya


Mengapa transfusi darah dahulu begitu berbahaya? 
Pertanyaan ini menjadi sangat menarik jika kita melihat bagaimana transfusi darah pada masa kini dianggap sebagai salah satu prosedur medis paling vital dan rutin. 
Di rumah sakit modern, transfusi darah mampu menyelamatkan pasien yang kehilangan banyak darah akibat kecelakaan, operasi besar, atau komplikasi medis. Setiap hari, ribuan nyawa bergantung pada ketersediaan kantong darah yang tersimpan rapi di bank darah. 

Namun, di balik prosedur yang kini tampak sederhana, tersimpan sejarah panjang yang kelam. Dahulu, transfusi darah justru identik dengan risiko tinggi, bahkan sering kali berujung pada kematian pasien. Alih-alih menyembuhkan, prosedur ini sering menimbulkan malapetaka. Lalu mengapa hal itu bisa terjadi? 
Untuk memahami jawabannya, kita perlu menelusuri alasan-alasan ilmiah dan historis yang membuat transfusi darah menjadi begitu berbahaya di masa lalu.

Pada abad-abad sebelum pengetahuan tentang tubuh manusia berkembang pesat, banyak dokter percaya bahwa darah adalah cairan kehidupan yang bisa dipertukarkan antarindividu. Mereka berasumsi bahwa memasukkan darah dari satu orang ke orang lain dapat memberikan vitalitas baru atau menyembuhkan penyakit tertentu. Namun, anggapan sederhana ini menimbulkan masalah besar karena tidak adanya pengetahuan tentang keberagaman darah. Salah satu faktor utama penyebab transfusi darah berbahaya adalah ketidaktahuan tentang golongan darah. 

Pada masa itu, para dokter tidak tahu bahwa manusia memiliki sistem golongan darah yang berbeda-beda antara golongan darah A, B, AB, dan O. Golongan darah ini ditentukan oleh keberadaan antigen tertentu pada permukaan sel darah merah. Jika darah dengan antigen yang berbeda dicampurkan tanpa kecocokan, tubuh penerima akan merespons dengan pertahanan yang keras. Reaksi ini disebut aglutinasi, yaitu penggumpalan sel darah merah. Lebih parah lagi, dapat terjadi hemolisis, yaitu penghancuran sel darah merah yang berakibat fatal. 
Reaksi semacam ini menyebabkan pasien mengalami syok, gagal organ, hingga kematian dalam hitungan menit.

Ketidaktahuan ini berlangsung hingga awal abad ke-20, sebelum seorang ilmuwan Austria bernama Karl Landsteiner melakukan penelitian yang mengubah dunia medis selamanya. Pada tahun 1901, Landsteiner menemukan bahwa darah manusia tidak semuanya sama, sehingga pencampuran jenis darah tertentu dapat menimbulkan reaksi berbahaya. 
Dari sinilah ia mengidentifikasi sistem golongan darah ABO. Penemuan ini menjadi titik balik sejarah transfusi darah. Untuk pertama kalinya, para dokter dapat memahami bahwa kecocokan donor dan penerima sangatlah penting. 
Berkat penemuan ini pula, transfusi darah akhirnya bisa dilakukan dengan aman dan menyelamatkan jutaan nyawa. Landsteiner kemudian dianugerahi Hadiah Nobel pada tahun 1930 atas penemuannya yang monumental.

Namun, golongan darah bukanlah satu-satunya masalah besar. Bahkan ketika darah yang diberikan ternyata cocok, masih ada rintangan besar lainnya yaitu darah sangat cepat membeku setelah keluar dari tubuh. Pada masa sebelum penemuan teknologi penyimpanan, transfusi hanya bisa dilakukan dengan cara yang sangat sederhana dan berisiko, dimana donor harus langsung disambungkan ke pasien. Prosedur ini dikenal dengan istilah direct transfusion. Caranya bisa berupa menghubungkan pembuluh darah donor dengan penerima menggunakan tabung atau alat primitif lainnya. Praktik ini jelas tidak praktis dan penuh risiko. Selain sulit dilakukan, donor bisa mengalami pendarahan berlebihan, sementara pasien seringkali tidak mendapatkan volume darah yang cukup karena darah yang mengalir cepat menggumpal.

Namun kondisi ini berubah ketika para peneliti menemukan cara untuk mencegah darah membeku. 
Terobosan besar terjadi dengan ditemukannya antikoagulan, yaitu zat kimia yang mencegah pembekuan darah. Salah satu penemuan terpenting adalah penggunaan sodium sitrat pada awal abad ke-20. Zat ini bekerja dengan mengikat kalsium dalam darah, yang merupakan elemen penting dalam proses pembekuan. Dengan sodium sitrat, darah akhirnya bisa disimpan selama beberapa waktu tanpa menggumpal. Inilah yang membuka jalan bagi lahirnya bank darah pertama di dunia. Sejak saat itu, darah dapat dikumpulkan, disimpan, dan ditransfusikan secara lebih aman dan praktis, tanpa harus mengandalkan kehadiran langsung donor.

Selain masalah golongan darah dan pembekuan, transfusi di masa lalu juga berbahaya karena keterbatasan pengetahuan tentang bakteri dan sterilisasi. Perlu diingat bahwa sebelum ditemukannya teori kuman oleh Louis Pasteur dan penerapan antiseptik oleh Joseph Lister pada abad ke-19, banyak dokter yang tidak menyadari bahwa peralatan medis yang tidak steril bisa membawa penyakit mematikan. Jarum, tabung, dan alat transfusi sering digunakan berulang kali tanpa disterilkan dengan baik. Akibatnya, pasien sering mengalami infeksi serius setelah transfusi. 
Penyakit seperti sepsis, demam parah, atau infeksi bakteri lainnya menjadi komplikasi yang umum. Banyak pasien yang selamat dari prosedur transfusi awal justru meninggal karena infeksi pasca-transfusi. Baru setelah pengetahuan tentang pentingnya sterilisasi berkembang, serta ditemukannya alat medis sekali pakai, risiko infeksi dapat ditekan secara signifikan.

Jika kita rangkum, ada tiga alasan utama mengapa transfusi darah dahulu begitu berbahaya.
Mulai dari ketidaktahuan tentang golongan darah, pembekuan darah yang menghalangi penyimpanan, dan ketiadaan sterilisasi. Ketiganya membentuk pilar kegelapan dalam sejarah transfusi. 
Golongan darah yang tidak cocok memicu reaksi mematikan, darah yang cepat membeku membuat transfusi sangat sulit dilakukan, dan alat yang tidak steril menyebabkan infeksi parah. 
Semua ini menjadikan transfusi di masa lalu ibarat perjudian hidup dan mati, dengan peluang keberhasilan yang sangat kecil.

Namun sejarah juga mencatat bahwa sains tidak pernah berhenti mencari jawaban. Penemuan Karl Landsteiner tentang golongan darah, terobosan antikoagulan, dan revolusi dalam teknik sterilisasi berhasil mengubah transfusi darah dari prosedur berbahaya menjadi salah satu inovasi medis paling aman dan penting. 

Kini, transfusi darah bisa dilakukan dengan tingkat keamanan yang sangat tinggi. Setiap kantong darah yang disimpan di bank darah diperiksa golongan darahnya, diuji dari kemungkinan infeksi, dan disimpan dalam kondisi yang higienis. Antikoagulan modern memastikan darah tetap bisa digunakan bahkan beberapa minggu setelah disumbangkan. Peralatan sekali pakai, seperti jarum suntik dan kantong darah, memastikan tidak ada risiko penularan infeksi.

Jika dibandingkan dengan masa lalu, kondisi ini bagaikan langit dan bumi. Prosedur yang dahulu sering berakhir dengan kematian kini justru menjadi penyelamat jutaan nyawa setiap tahun. Para korban kecelakaan, pasien dengan operasi besar, ibu yang mengalami pendarahan pasca persalinan, hingga penderita penyakit tertentu yang membutuhkan transfusi rutin semuanya berutang pada penemuan-penemuan ini.

Sejarah transfusi darah mengajarkan kita pelajaran penting tentang bagaimana sains berkembang. Pengetahuan yang kita anggap sederhana saat ini, seperti perbedaan golongan darah, dahulu tidak diketahui dan menjadi penyebab banyak tragedi. 
Tetapi berkat ketekunan para ilmuwan, dari Karl Landsteiner hingga para peneliti antikoagulan dan pionir sterilisasi, tragedi itu bertransformasi menjadi harapan. Dari praktik yang penuh bahaya, transfusi darah kini menjadi simbol penyelamatan hidup.

Mengingat perjalanan panjang ini, kita bisa merenungkan betapa luar biasanya peran ilmu pengetahuan dalam mengubah nasib umat manusia. 
Dahulu, transfusi darah bagaikan sebuah perjudian antara hidup dan mati. Kini, dengan kemajuan ilmu, ia telah menjadi prosedur medis yang sangat vital, aman, dan rutin. 
Inilah bukti nyata bahwa kegigihan para peneliti dan kemajuan sains dapat mengubah prosedur mematikan menjadi salah satu inovasi paling menyelamatkan dalam sejarah kedokteran. Dan mungkin, suatu hari nanti, penemuan-penemuan medis baru yang kini masih dipandang berisiko akan mengalami transformasi serupa, dari berbahaya menjadi penyelamat umat manusia.

Belum ada Komentar untuk "Mengapa Dahulu Transfusi Darah Begitu Berbahaya? Ini dia Penjelasannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel