Mengapa Indonesia Sulit Maju? Menelusuri Akar Kemiskinan Akibat Korupsi Sistemik
Senin, 25 Agustus 2025
Tambah Komentar
Indonesia sering dipuji sebagai raksasa Asia yang sedang bangkit. Tanahnya kaya, lautnya penuh dengan hasil, hutannya menyimpan emas hijau, dan jumlah penduduk mudanya menjanjikan tenaga produktif yang melimpah.
Letaknya strategis di jalur perdagangan dunia, menjadikannya pusat lalu lintas yang vital. Semua faktor ini semestinya menempatkan Indonesia di garis depan peradaban modern, sebuah bangsa yang mampu bersaing dengan negara-negara besar lain.
Namun, kenyataannya begitu kontras. Di balik gedung pencakar langit di kota besar, ada desa-desa yang masih terperangkap dalam lingkaran kemiskinan.
Di balik kekayaan sumber daya alam, ada jutaan rakyat yang bahkan kesulitan mengakses pendidikan layak atau layanan kesehatan dasar. Fenomena ini bukanlah takdir. Ia bukan kebetulan. Potensi bangsa seolah telah dibunuh secara perlahan oleh sebuah penyakit yang tak kasat mata, tetapi mematikan bernama korupsi.
Sejak awal, benih-benih pengkhianatan terhadap potensi bangsa ini telah ditanam. Mari kita kembali ke abad ketika Nusantara belum bernama Indonesia, saat perusahaan dagang Belanda bernama Vereenigde Oostindische Compagnie, atau VOC, menguasai perdagangan rempah.
VOC tidak hanya datang membawa kapal dan senjata, mereka datang membawa strategi licik yang beracun yaitu korupsi sebagai alat dominasi.
Mereka tahu, untuk menguasai wilayah seluas Nusantara, mereka tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan militer. Maka diciptakanlah birokrasi yang bertumpu pada suap, hadiah, dan keuntungan pribadi. Hubungan antara penguasa lokal dan rakyatnya sengaja diputus, digantikan oleh hubungan transaksional. Para penguasa lokal disuap dengan emas, kain, atau janji kekuasaan, hingga mereka lebih setia pada VOC ketimbang pada rakyatnya sendiri.
Yang membuat racun ini semakin mematikan adalah adanya kolaborasi dengan elit lokal. Tidak sedikit bangsawan atau pejabat pribumi yang tergoda. Mereka menjadi pion dalam permainan VOC, mereka rela menjual kepentingan rakyat demi secuil keuntungan pribadi.
Di sinilah pengkhianatan pertama terhadap bangsa ini terjadi. Korupsi tidak hanya diperkenalkan, tetapi sengaja ditanam, dipupuk, dan dilanggengkan sebagai sistem. Warisan beracun itu mengalir turun-temurun, membentuk pola pikir bahwa kekuasaan adalah jalan untuk memperkaya diri, bukan untuk melayani negri dan memakmurkan rakyat.
Merdeka pada 1945 semestinya menjadi titik balik, saat bangsa ini bisa membersihkan dirinya dari warisan kolonial.
Namun, kenyataan berkata lain. Racun itu telah meresap terlalu dalam. Ia tidak hilang, melainkan hanya berganti wajah.
Ketika Orde Baru muncul di panggung sejarah, korupsi menemukan rumah barunya. Bukan lagi sekadar praktik individu, melainkan jaring-jaring tak terlihat yang mengikat seluruh sendi negara. Pembangunan digembar-gemborkan, tetapi di balik setiap proyek, ada dana yang menguap. Jalan, jembatan, gedung, dan bendungan sering kali hanya ada di atas kertas, banyak proyek hantu yang menjadi ladang subur bagi para elite untuk menimbun kekayaan. Dana pembangunan yang seharusnya mengalir ke rakyat justru menghilang ke rekening gelap.
Contohnya Kasus Pertamina (1970-an)
Di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo, Pertamina menanggung utang luar negeri hingga sekitar 10 miliar dolar AS pada pertengahan 1970-an. Dana pinjaman banyak dipakai untuk proyek-proyek yang tidak jelas, termasuk pembelian kapal dan pembangunan fasilitas mewah.
Skandal ini mengguncang ekonomi nasional dan membuat pemerintah harus turun tangan menyelamatkan Pertamina dari kebangkrutan.
(Sumber: Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (1986); Kompas)
Lebih ironis lagi, korupsi pada masa itu tidak hanya terjadi, tetapi juga dilindungi. Hukum yang mestinya menjadi benteng rakyat justru dipelintir menjadi pelindung para penguasa. Imunitas hukum bagi para jenderal, pejabat, dan kroni-kroni mereka membuat praktik korupsi berjalan tanpa rasa takut. Hukum menjadi tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Seorang rakyat kecil bisa dijebloskan ke penjara karena mencuri ayam untuk makan, sementara seorang pejabat yang menggelapkan miliaran rupiah bisa lolos tanpa tersentuh. Narasi keadilan terbalik inilah yang membuat masyarakat sinis. Jika hukum hanya berpihak pada yang berkuasa, mengapa rakyat kecil harus taat? Dengan cara itu, korupsi tidak hanya menjadi praktik, tetapi mentalitas nasional yang diwariskan.
Misalnya saja kasus Ali Murtopo (1970-an)
Jenderal Ali Murtopo, salah satu orang dekat Soeharto, dikenal mengendalikan berbagai proyek besar lewat “Opsus” dan bisnis kroni. Meski banyak tuduhan keterlibatan dalam praktik korupsi, tidak ada proses hukum yang menyentuhnya karena statusnya sebagai lingkaran dalam kekuasaan.
Kontras dengan rakyat kecil
Pada masa yang sama, rakyat miskin bisa dipenjara hanya karena kasus kecil, misalnya mencuri ayam atau hasil kebun, karena hukum diterapkan keras pada masyarakat bawah. (Sumber: Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (1978)
Ketika Orde Baru runtuh, harapan baru muncul. Reformasi 1998 menjanjikan demokrasi, kebebasan, dan pemerintahan yang bersih. Namun, korupsi bukan hantu yang mudah diusir. Ia justru berkamuflase. Dari bentuk yang terpusat pada satu lingkaran kekuasaan, ia menyebar ke seluruh penjuru negeri. Otonomi daerah yang seharusnya membawa pemerataan, justru membuka peluang korupsi dalam skala lebih luas. Kepala daerah, anggota DPRD, birokrat lokal semuanya kini punya panggung sendiri. Modusnya pun berevolusi mulai dari pengadaan barang fiktif, suap izin, jual beli jabatan. Korupsi yang dulu terkonsentrasi kini menjadi desentralistik, menjelma endemi yang menjangkiti hampir semua lapisan birokrasi.
Seperti kasus suap APBD Riau (2004–2008)
Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Riau periode itu terbukti menerima suap terkait pengesahan APBD. Mereka divonis bersalah, tetapi kasus ini menunjukkan bagaimana korupsi pasca-Reformasi menyebar ke daerah, melibatkan hampir seluruh lembaga legislatif lokal. Sumber: Kompas, ICW (Laporan Korupsi Daerah 2010).
Lebih menyedihkan lagi, lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan korupsi ikut dipermainkan. Contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sempat menjadi simbol harapan rakyat, menghadapi serangan balik dari kekuatan koruptor. Seperti perang dingin, ada tarik menarik antara upaya membersihkan negeri ini dan kekuatan-kekuatan yang ingin mempertahankan status quo. Regulasi diubah, kewenangan dipangkas, dan tekanan politik diarahkan untuk melemahkan gigi lembaga ini. Korupsi kini tidak lagi sekadar pencurian uang rakyat, tetapi juga permainan politik yang penuh intrik.
Salah satu contoh paling nyata adalah revisi Undang-Undang KPK tahun 2019, ketika lembaga yang dulu ditakuti para koruptor justru dipangkas kewenangannya. Regulasi baru ini membuat KPK kehilangan taringnya, penyadapan dibatasi, pegawai diubah statusnya, dan setiap langkah harus melalui pengawasan politik. Bagi banyak orang, ini bukan sekadar perubahan hukum, melainkan simbol bagaimana koruptor berhasil melakukan serangan balik terhadap harapan rakyat
Revisi UU KPK Tahun 2019
DPR dan pemerintah mengesahkan revisi Undang-Undang KPK yang memangkas banyak kewenangan lembaga ini. Beberapa poin krusial:
KPK dijadikan lembaga di bawah eksekutif (status ASN bagi pegawai).
Penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas.
Kewenangan penuntutan dibatasi.
Revisi ini menuai kritik luas karena dianggap melemahkan KPK yang sebelumnya berhasil membongkar banyak kasus besar (misalnya korupsi e-KTP, BLBI, hingga suap kepala daerah).
(Sumber: Kompas, BBC)
Korupsi menciptakan kemiskinan struktural. Lihatlah kontras yang mencolok antara gedung-gedung megah berdiri di pusat kota, namun di pelosok desa sekolah-sekolah reyot tanpa fasilitas, puskesmas yang kekurangan obat, dan jembatan yang nyaris roboh.
Ada bangunan mewah yang dibangun dari uang rakyat, tetapi justru menjadi monumen kosong yang menelan nyawa, contohnya kasus Hambalang (2010–2012)
Proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang di Bogor yang menelan anggaran lebih dari Rp 2,5 triliun, namun mangkrak karena korupsi. Bangunan megah itu terbengkalai, menjadi “monumen kosong” dari uang rakyat, sementara banyak sekolah di daerah kekurangan ruang kelas dan fasilitas dasar. (Sumber: Kompas, Tempo.)
Contoh lain Kasus Korupsi Pengadaan Alkes RSUD Banten (2011–2013)
Dana sekitar Rp 61 miliar untuk pengadaan alat kesehatan RSUD Banten dikorupsi. Akibatnya, banyak alat kesehatan rusak, tak bisa digunakan, dan stok obat menipis, membuat pelayanan pasien terganggu. (Sumber: Tempo)
Jadi, uang yang seharusnya memperbaiki sekolah dan puskesmas justru raib, membuat rakyat kecil menanggung akibatnya.
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial. Ia adalah kejahatan kemanusiaan. Ia merampas hak anak untuk belajar, merenggut kesempatan ibu melahirkan dengan selamat karena fasilitas kesehatan minim, dan menghancurkan harapan generasi muda yang seharusnya bisa bermimpi besar. Ia membunuh harapan rakyat, perlahan tetapi pasti.
Dan selama ia terus dibiarkan, bangsa ini akan terus terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
Namun, meski kegelapan tampak begitu pekat, selalu ada cahaya yang menembusnya.
Akan ada pahlawan dalam kegelapan, baik itu lembaga-lembaga pemberantas korupsi yang masih berjuang, aktivis yang mengorbankan kenyamanan demi keadilan, atau jurnalis yang membongkar kasus-kasus besar meski menghadapi ancaman. Mereka membuktikan bahwa pertarungan belum selesai. Selalu ada harapan, selama ada yang berani melawan.
Misalnya dalam Kasus “Panama Papers” (2016)
Liputan investigasi yang melibatkan jurnalis Indonesia dari Tempo dan The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) berhasil membongkar praktik pencucian uang dan penyembunyian aset pejabat maupun pengusaha Indonesia di luar negeri. Meski menghadapi tekanan, para jurnalis tetap mengungkap fakta demi publik.
(Sumber: Tempo)
Kasus Suap Bupati Garut (2019)
KPK lewat operasi tangkap tangan (OTT) berhasil menangkap Bupati Garut, Rudy Gunawan, beserta kroninya karena menerima suap proyek infrastruktur. Aksi cepat KPK ini menunjukkan lembaga tersebut masih jadi garda depan melawan korupsi meski kewenangannya terus dipangkas.
(Sumber: Kompas)
Lalu ada juga para Aktivis Antikorupsi
Banyak aktivis seperti yang tergabung dalam Indonesia Corruption Watch (ICW) konsisten mengawasi kebijakan dan kasus korupsi, meski sering menerima intimidasi. Mereka menjadi suara publik yang tak bisa dibungkam.
(Sumber: ICW)
Pada akhirnya, kekuasaan sejati ada di tangan rakyat. Perubahan tidak akan datang hanya dari atas. Ia harus lahir dari kesadaran kolektif, dari keberanian setiap orang untuk berkata tidak pada suap, tidak pada pungli, tidak pada kompromi kecil yang selama ini dianggap lumrah. Perubahan tidak akan datang jika rakyat hanya menjadi penonton. Ia akan datang ketika rakyat bersatu menuntut keadilan, menolak dikorbankan, dan berani bermimpi tentang Indonesia yang bersih.
Bangsa ini masih punya kesempatan untuk memutus rantai panjang korupsi. Pertanyaannya adalah apakah kita akan terus membiarkan potensi kita dibunuh perlahan?
Ataukah kita siap bangkit dan melawan?
Atau apakah kita hanya akan diam seolah pasrah pada kenyataan?
Jawabannya jelas: ini bukan hanya tugas pemerintah atau aparat penegak hukum saja, tetapi juga tugas kita sebagai warga negara Indonesia. Korupsi bisa tumbuh subur karena adanya pembiaran dan sikap pasrah. Karena itu, setiap orang punya peran, mulai dari menolak praktik suap sekecil apa pun, berani bersuara ketika melihat ketidakadilan, mendukung kerja-kerja jurnalis dan aktivis, hingga membangun budaya jujur dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan tidak akan lahir dari atas saja, melainkan dari gerakan bersama seluruh rakyat yang menolak untuk tunduk pada budaya korupsi.
Belum ada Komentar untuk "Mengapa Indonesia Sulit Maju? Menelusuri Akar Kemiskinan Akibat Korupsi Sistemik"
Posting Komentar