Apa Itu Bank Dunia? Sejarah Lengkap, Fungsi Dan Dampaknya terhadap Negara Berkembang
Selasa, 26 Agustus 2025
Tambah Komentar
Bank Dunia atau World Bank, muncul sebagai salah satu institusi keuangan global terpenting setelah Perang Dunia II. Bersama IMF, Bank Dunia didesain dalam konferensi Bretton Woods 1944 untuk menstabilkan perekonomian global dan membantu rekonstruksi negara-negara yang hancur akibat perang. Nama resminya saat itu adalah International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).
Tujuan awal Bank Dunia adalah menyediakan pinjaman jangka panjang bagi negara yang membutuhkan dana untuk membangun kembali infrastruktur, terutama Eropa Barat dan Jepang yang luluh lantak. Pinjaman pertama Bank Dunia justru diberikan kepada Prancis pada tahun 1947. Setelah Eropa berhasil membangun ekonominya lewat Marshall Plan Amerika Serikat, fokus Bank Dunia mulai bergeser ke negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka di Asia, Afrika dan Amerika Latin, sehingga misi rekonstruksi berubah menjadi pembangunan.
Pada 1960-an, Bank Dunia memperluas instrumennya dengan membentuk IDA (International Development Association) yang memberikan pinjaman berbunga sangat rendah kepada negara paling miskin. Semakin banyak negara berkembang tergantung pada Bank Dunia untuk membangun jalan, bendungan, pembangkit listrik, irigasi, sekolah, dan lain-lain.
Dalam retorikanya, Bank Dunia menyatakan diri sebagai lembaga pemberantas kemiskinan. Ia menyuplai dana pembangunan dan riset ekonomi, membantu pemerintah negara berkembang membuat kebijakan makro.
Namun lambat laun posisinya yang sangat kuat dalam mendikte kebijakan ekonomi negara-negara peminjam menimbulkan kritik dari berbagai pihak. Bank Dunia punya tradisi think-tank yang kental, dikendalikan oleh para ekonom dari negara Barat dalam penerapan teori modernisasi dan pertumbuhan. Mereka sering menekankan teori “trickle-down effect” dan fokus pertumbuhan lewat industrialisasi yang dibiayai dengan utang jangka panjang.
Banyak negara miskin terjebak dalam pinjaman Bank Dunia. Dengan proyek infrastruktur besar, negara-negara seperti India, Kenya, Brazil dan Pakistan memiliki utang menumpuk tetapi proyek-proyek tersebut tidak selalu efektif meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil.
Banyak proyek Bank Dunia dituding gagal karena tidak memahami konteks lokal, merusak lingkungan, dan menguntungkan kontraktor asing. Pada masa Perang Dingin, pendanaan Bank Dunia juga sering dipolitisasi untuk melawan pengaruh Uni Soviet. Negara-negara pro Barat lebih mudah mendapatkan pinjaman, sehingga Bank Dunia dianggap alat kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan sekutu Eropa.
Bank Dunia didominasi negara Barat karena sistem voting-nya berdasarkan kontribusi modal. Amerika Serikat memiliki sekitar 16 persen suara dan secara tradisi posisi presiden Bank Dunia selalu dipegang oleh warga negara Amerika.
Hal ini berbeda dengan IMF yang biasanya dipimpin wakil Eropa. Kritik terhadap dominasi Barat semakin keras ketika Bank Dunia mensyaratkan negara-negara miskin menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal seperti privatisasi perusahaan negara, liberalisasi perdagangan, deregulasi keuangan, serta pengurangan peran negara dalam ekonomi.
Banyak kebijakan pembangunan Bank Dunia menyaratkan program SAP (Structural Adjustment Program) yang mirip dengan IMF. Negara seperti Ghana dan Tanzania harus mencabut subsidi pangan. Di Latin Amerika, Meksiko dan Argentina juga menjalani resep ini. Hasilnya memang ekonomi tumbuh, namun ketimpangan sosial melebar, petani kecil terpinggirkan, dan akses terhadap layanan publik memburuk. Aktivis sosial menuduh Bank Dunia mendorong negara berkembang untuk menjual aset nasional ke investor asing demi membayar utang.
Hubungan Bank Dunia dengan Indonesia dimulai sejak awal Orde Baru setelah Soekarno jatuh pada tahun 1966. Pemerintahan Soeharto membuka pintu lebar bagi Bank Dunia dan lembaga donor lainnya seperti IMF dan USAID.
Indonesia menjadi “model” pembangunan ekonomi neoliberal di Asia Tenggara. Bank Dunia bersama IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) memberikan utang besar-besaran untuk membangun jalan, bendungan dan infrastruktur lainnya.
Bank Dunia memuji kebijakan stabilisasi makro Orde Baru dan Indonesia menjadi salah satu penerima pinjaman terbesar selama tahun 1970-1980-an.
Dana pembangunan digunakan untuk proyek transmigrasi, program pangan, hingga mega-bendungan seperti Kedung Ombo.
Namun proyek-proyek ini sering menimbulkan kontroversi, dikarenakan penggusuran masyarakat desa, kerusakan hutan dan adanya praktik korupsi. Transmigrasi dikecam karena membuka hutan Kalimantan dan Sumatera secara masif dan konflik dengan penduduk lokal. Bank Dunia tetap memuji Indonesia sebagai “keajaiban pembangunan” karena pertumbuhan ekonominya tinggi. Tetapi ketika harga minyak jatuh, utang Indonesia membengkak, dan Bank Dunia menggiring Indonesia untuk mempercepat privatisasi dan liberalisasi pasar. Krisis ekonomi Asia 1997 membuat pinjaman Bank Dunia ikut membanjiri Indonesia bersama IMF.
Bank Dunia memberikan pinjaman penyelamatan namun tetap dengan syarat pengetatan dan reformasi ekonomi. Setelah reformasi 1998, Indonesia masih membayar utang Bank Dunia selama bertahun-tahun, sementara Bank Dunia terus menawarkan pinjaman bagi proyek infrastruktur dan pendidikan dengan alasan pengentasan kemiskinan.
Di tingkat global, Bank Dunia merilis laporan-laporan ekonomi yang sangat berpengaruh. Salah satunya adalah World Development Report yang setiap tahun merumuskan strategi pembangunan global. Namun laporan-laporan tersebut sering dikritik karena bersifat top-down: memberi resep standar ke negara-negara berbeda. Banyak LSM lingkungan memprotes pendanaan Bank Dunia untuk proyek bendungan raksasa yang merusak sungai dan memaksa penduduk lokal relokasi. Pada 1980-1990-an, spektrum kritik meluas dari aktivis pembangunan, serikat buruh, lingkungan hingga ekonom progresif. Joseph Stiglitz, mantan kepala ekonom Bank Dunia, bahkan terang-terangan mengkritik kebijakan penyesuaian struktural Bank Dunia dan IMF karena mengabaikan dimensi sosial masyarakat miskin.
Bank Dunia kemudian mencoba mengubah citranya menjadi lebih humanis. Pada awal 2000-an, dengan presiden James Wolfensohn, Bank Dunia menyatakan perang melawan kemiskinan dan korupsi. Mereka mulai bicara tentang partisipasi masyarakat sipil, perlunya pendidikan dasar, pemberdayaan perempuan, dan pembangunan berkelanjutan.
Bank Dunia membentuk unit khusus yang menilai dampak lingkungan dan sosial sebelum memberikan pinjaman. Mereka juga mulai mendukung program ambisius seperti MDGs (Millennium Development Goals) dan kemudian SDGs (Sustainable Development Goals).
Namun banyak pengamat mengatakan perubahan retorik tersebut tidak diikuti transformasi mendalam. Bank Dunia masih banyak mendanai proyek infrastruktur yang rentan terhadap korupsi dan menggusur masyarakat adat. Di beberapa negara, Bank Dunia membantu menyiapkan proyek privatisasi air yang kemudian membuat harga air melonjak dan rakyat miskin kesulitan. Ini terjadi di Bolivia dan Afrika Selatan. Proyek kesehatan yang disyaratkan Bank Dunia juga mengharuskan pemerintah negara miskin membayar kontribusi sektor privat kesehatan, sehingga menyebabkan layanan publik menurun.
Dalam beberapa dekade terakhir, muncul pesaing baru Bank Dunia yaitu bank pembangunan China (Asian Infrastructure Investment Bank, AIIB dan New Development Bank BRICS). Negara-negara berkembang semakin banyak bergantung pada China untuk pinjaman pembangunan infrastruktur karena syaratnya dianggap lebih fleksibel dibanding Bank Dunia.
China meminjamkan uang tanpa menuntut reformasi kebijakan secara politis. Hal ini membuat Bank Dunia khawatir akan kehilangan pengaruh, sehingga mereka mulai lebih fleksibel dalam beberapa kebijakan. Bank Dunia juga mendanai proyek iklim, energi terbarukan dan inklusi sosial agar lebih relevan dalam era modern. Bank Dunia melepas sejumlah dana darurat untuk negara yang terdampak pandemi COVID-19. Namun tetap saja, banyak pihak melihat bahwa esensi lembaga itu masih kental dengan logika neoliberal: pasar bebas, deregulasi, dan kepentingan negara kaya.
Di Indonesia, hubungan dengan Bank Dunia berlanjut hingga era Jokowi. Bank Dunia ikut membantu proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan, tol, program desa, sistem pendidikan, dan reformasi birokrasi. Meskipun pemerintah Indonesia kerap memuji dukungan Bank Dunia untuk investasi dan pembangunan manusia, kelompok sipil mengingatkan bahwa ketergantungan terhadap utang luar negeri bisa menjadi beban jangka panjang. Meski bunga pinjaman dari Bank Dunia lebih rendah dibanding pasar finansial, tetap saja harus dikembalikan dan menekan anggaran negara. Namun Bank Dunia kini lebih berhati-hati dan berusaha bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat sipil agar proyek bukan hanya menguntungkan kontraktor, tapi juga memberi manfaat sosial. Keterlibatan Bank Dunia dalam mengembangkan sistem jaminan sosial, penanganan stunting, dan bantuan desa menjadi bagian dari upaya pencitraan baru bahwa mereka kini lebih pro-rakyat. Walau demikian, banyak masyarakat masih skeptis dengan lembaga keuangan global manapun karena trauma masa lalu yang membuat banyak negara berkembang terjebak dalam utang dan kebijakan yang ditentukan pihak luar.
Bank Dunia saat ini bukan lagi sekadar bank pembangunan tradisional. Ia ingin menjadi pusat pengetahuan pembangunan global dan sering mengklaim dirinya sebagai lembaga riset sekaligus pemberi pinjaman. Namun dominasi negara kaya masih terlihat jelas dalam struktur kepemimpinannya. Reformasi struktur voting masih lamban. Negara-negara Afrika dan Asia Selatan yang sebagian besar menjadi peminjam justru punya suara sangat kecil dalam penentuan kebijakan Bank Dunia.
Kesenjangan antara utara dan selatan global ini menjadi pusat kritik kaum intelektual kiri dan aktivis keadilan ekonomi. Bank Dunia mencoba menjawab kritik tersebut dengan membentuk konsultasi masyarakat sipil, forum partisipasi sosial, dan unit environmental safeguard, tetapi tetap saja mereka menjalankan logika ekonomi global sebagaimana didefinisikan para ekonom Barat beraliran pasar bebas.
Pada akhirnya, penilaian terhadap Bank Dunia selalu berada di antara dua ekstrem: di satu sisi, lembaga ini telah membantu banyak negara mendapatkan dana pembangunan, membangun infrastruktur dasar, menurunkan kemiskinan ekstrem, dan menyediakan dukungan teknologi serta pelatihan kebijakan modern. Tanpa Bank Dunia, mungkin banyak negara tidak akan pernah membangun jalan dan bendungan, atau punya sistem kesehatan publik. Tetapi di sisi yang lain, Bank Dunia juga bertanggung jawab atas kebijakan ekonomi yang terlalu seragam, menyebabkan negara berkembang kehilangan kedaulatan ekonomi, dan masuk dalam perangkap utang panjang. Sejarah panjang utang dan proyek yang gagal menjadi catatan kelam. Di Indonesia sendiri, Bank Dunia punya peran besar dalam pembangunan Orde Baru baik secara fisik maupun kebijakan, tetapi kontribusinya datang dengan harga mahal berupa korupsi dan ketergantungan.
Seperti IMF, Bank Dunia masih menghadapi tantangan: apakah tetap menjadi instrumen hegemoni ekonomi Barat, atau berubah menjadi benar-benar lembaga pembangunan yang berorientasi pada keadilan sosial global. Transformasi itu masih berjalan lambat. Kini, di tengah perubahan iklim, krisis pangan, dan pandemi global, Bank Dunia menghadapi dunia baru yang memerlukan pemikiran lebih inklusif, bertanggung jawab, menghargai konteks budaya lokal, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat bukan hanya angka pertumbuhan. Pertanyaan mengenai masa depan Bank Dunia tetap terbuka, tetapi yang jelas jejaknya dalam sejarah pembangunan global tidak bisa dihapus begitu saja. Bank Dunia adalah cermin ambivalensi modern: lembaga yang membantu sekaligus mengikat; yang menerangi sekaligus membayangi jutaan kehidupan di negara berkembang.
Bank Dunia sering kali dianggap sebagai pahlawan yang membawa kemajuan dan kesejahteraan di negara-negara berkembang.
Namun, benarkah narasi itu seutuhnya?
Lewat Buku "Membongkar Bank Dunia" yang disunting oleh Jonathan R. Pincus dan Jeffrey A. Winters, bacaan penting bagi siapa saja yang ingin memahami peran dan dampak Bank Dunia secara lebih mendalam. Buku ini tidak hanya memaparkan sejarahnya, tetapi juga mengupas sisi-sisi kritis dan kontroversial dari operasi Bank Dunia, terutama di negara-negara berkembang. Melalui berbagai esai, buku ini menyajikan perspektif yang berbeda dari narasi umum, mengajak pembaca untuk melihat Bank Dunia dari sudut pandang yang lebih kritis. Ini adalah sumber yang bagus untuk melengkapi pemahaman Anda tentang sejarah dan dinamika institusi keuangan global ini.
Belum ada Komentar untuk "Apa Itu Bank Dunia? Sejarah Lengkap, Fungsi Dan Dampaknya terhadap Negara Berkembang"
Posting Komentar