Menjelajahi Jantung Dunia Baru: Petualangan di Balik Aliansi BRICS
Rabu, 03 September 2025
Tambah Komentar
Dunia hari ini sedang bergerak ke arah yang berbeda dari apa yang kita kenal beberapa dekade lalu. Selama bertahun-tahun, tatanan global didominasi oleh satu kutub kekuasaan, sebuah poros yang terpusat pada Barat, terutama Amerika Serikat beserta sekutunya. Namun, roda sejarah tidak pernah berhenti berputar.
Di balik bayang-bayang dominasi tunggal itu, kini muncul sebuah pergeseran besar yang mulai membentuk wajah dunia baru sebuah peralihan dari unipolaritas menuju multipolaritas.
Di tengah pergeseran itu, ada satu aliansi yang menempati posisi unik dan semakin mendapat sorotan dunia yaitu BRICS. Ia bukan sekadar sebuah akronim dari lima negara yaitu Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, melainkan sebuah denyut baru yang seakan menjadi “jantung” dari perubahan besar ini. Pembahasan kali ini akan membawa Anda dalam sebuah perjalanan, sebuah petualangan intelektual untuk menelusuri apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar aliansi ini, bagaimana ia terbentuk, ke mana ia melangkah, dan rintangan apa yang menghadang di jalan yang mereka tempuh.
Jika kita menelusuri jejak awalnya, BRICS bermula dari sebuah istilah yang pada awalnya tidak lebih dari ciptaan seorang ekonom. Jim O’Neill, seorang ekonom dari Goldman Sachs, pada tahun 2001 memperkenalkan konsep "BRIC" sebagai label bagi empat negara yang diprediksi akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi dunia diantaranya Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok. Saat itu, sebutan itu murni sebuah istilah ekonomi, bukan entitas politik. Namun, waktu membuktikan bahwa gagasan ini lebih dari sekadar prediksi. Keempat negara ini menyadari bahwa mereka berbagi kepentingan yang sama dalam mengubah arsitektur global yang cenderung memihak negara-negara maju. Pada tahun 2006, mereka memulai pertemuan resmi, dan kemudian secara bertahap berubah menjadi blok kerja sama yang nyata. Kehadiran Afrika Selatan pada tahun 2010 memperluas makna akronim ini menjadi BRICS, sekaligus memperkuat representasi aliansi tersebut di benua Afrika.
Masing-masing anggota BRICS hadir dengan identitas uniknya sendiri. Tiongkok, misalnya, dikenal sebagai “pabrik dunia” yang menggerakkan rantai pasokan global dan sekaligus kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia.
India membawa citra sebagai “pusat teknologi” yang melahirkan inovasi digital dan memiliki populasi muda yang masif. Rusia tampil sebagai raksasa energi dengan kekuatan militer yang masih menjadi salah satu yang terbesar.
Brasil mewakili kekuatan Amerika Latin dengan sumber daya alam yang melimpah, sementara Afrika Selatan menjadi pintu masuk Afrika yang kaya akan mineral dan potensi pasar.
Kombinasi ini menciptakan sebuah blok yang tidak hanya berbicara soal angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang aspirasi untuk mengubah keseimbangan dunia.
Perjalanan BRICS tidak berhenti di lima anggota awal. Gelombang baru muncul dengan diperluasnya aliansi ini, terutama melalui keanggotaan Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab pada tahun 2024. Masuknya negara-negara ini bukanlah langkah simbolis belaka, tetapi sinyal kuat bahwa BRICS ingin tampil sebagai forum global yang lebih inklusif.
Mesir dan Ethiopia menghadirkan kekuatan geopolitik Afrika yang lebih besar, Iran membawa energi dan pengaruh strategis di Timur Tengah, sementara Uni Emirat Arab menambah dimensi finansial dan logistik. Perluasan ini memberi pesan jelas bahwa BRICS bukan lagi sekadar kumpulan lima negara, tetapi sebuah gerakan yang semakin luas cakupannya.
Namun, mengapa “petualangan” ini dimulai? Jawabannya terletak pada visi bersama untuk menciptakan dunia yang lebih seimbang. Dalam bidang ekonomi, BRICS berusaha menantang dominasi dolar dan struktur finansial global yang selama ini dikuasai oleh institusi Barat, seperti IMF dan Bank Dunia. Mereka membentuk New Development Bank (NDB), sebuah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai alternatif bagi negara-negara berkembang untuk mendapatkan pembiayaan infrastruktur dan pembangunan tanpa harus tunduk pada syarat-syarat ketat yang sering melekat pada bantuan Barat. Bank ini menjadi simbol dari keinginan BRICS untuk membangun jalannya sendiri, tidak bergantung sepenuhnya pada tatanan yang telah mapan.
Visi BRICS juga mencakup tujuan geopolitik yang lebih luas. Aliansi ini menjadi wadah bagi negara-negara berkembang untuk bersuara dalam isu-isu global, dari perubahan iklim hingga reformasi lembaga internasional. Di panggung Perserikatan Bangsa-Bangsa, mereka sering menekankan perlunya dunia yang lebih multipolar, di mana suara Global South tidak lagi dipandang sebagai pelengkap, melainkan sebagai aktor utama. BRICS juga mendorong kerja sama dalam bidang teknologi, pertukaran budaya, hingga kesehatan, terutama setelah pandemi COVID-19 memperlihatkan betapa rapuhnya ketergantungan dunia pada satu pusat produksi.
Meski demikian, perjalanan ini tentu tidak mulus. BRICS menghadapi beragam tantangan internal yang tidak bisa diabaikan. Keberagaman sistem politik dan kepentingan nasional menjadi salah satu rintangan terbesar. Di satu sisi, ada negara demokrasi besar seperti India dan Brasil, sementara di sisi lain, ada negara dengan sistem otoriter yang kuat seperti Tiongkok dan Rusia. Perbedaan ini kadang memunculkan friksi dalam mengambil keputusan bersama. Kepentingan ekonomi mereka pun tidak selalu sejalan.
Misalnya, India dan Tiongkok, meskipun sama-sama ingin memperkuat BRICS, tetap terjebak dalam sengketa perbatasan dan persaingan teknologi.
Sementara itu, Rusia yang kini menghadapi sanksi Barat akibat perang di Ukraina, mencoba memanfaatkan BRICS sebagai saluran alternatif, sebuah langkah yang tidak selalu nyaman bagi semua anggota.
Di luar itu, ada pula tantangan eksternal. Barat, yang melihat BRICS sebagai potensi ancaman terhadap tatanan yang sudah ada, merespons dengan berbagai cara, mulai dari tekanan diplomatik hingga upaya mempertahankan dominasi dolar dalam perdagangan internasional. Tidak sedikit pula analis yang skeptis, mempertanyakan apakah BRICS bisa benar-benar kohesif atau hanya sebatas forum simbolis.
Keraguan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa meskipun memiliki visi bersama, masing-masing anggota memiliki agenda domestik yang rumit dan sering kali berlawanan.
Namun, semua tantangan itu tidak meniadakan kenyataan bahwa BRICS telah menjadi kekuatan baru yang tidak bisa diabaikan. Mereka telah membuka jalur alternatif dalam hubungan internasional, sebuah jalur yang menawarkan pilihan bagi negara-negara berkembang untuk tidak hanya bergantung pada Barat. Dunia kini memiliki lebih banyak pusat gravitasi politik dan ekonomi. Dengan semakin bertambahnya anggota, BRICS bukan hanya forum ekonomi, melainkan juga cermin dari keinginan global untuk mendobrak pola lama.
Ketika kita menutup perjalanan ini, jelas bahwa BRICS berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, mereka memiliki potensi luar biasa untuk menjadi motor penggerak tatanan dunia multipolar. Di sisi lain, mereka harus menghadapi ujian berat dari perbedaan internal dan tekanan eksternal. Masa depan BRICS masih penuh tanda tanya, apakah mereka akan tumbuh menjadi kekuatan kohesif yang mampu menantang dominasi lama, ataukah mereka akan tetap terjebak sebagai forum diskusi tanpa hasil konkret?
Apa pun jawabannya, satu hal sudah pasti, BRICS telah mengubah percakapan global. Mereka telah menggeser fokus dunia dari satu pusat ke banyak poros. Petualangan ini mungkin tidak akan berjalan mulus, jalannya penuh dengan liku-liku dan tantangan. Namun, persis di situlah nilai perjalanan ini. Sebagaimana setiap petualangan besar dalam sejarah, apa yang terjadi di balik BRICS telah dan akan terus mengguncang peta jalan dunia. BRICS mungkin bukan jalan yang sempurna, tetapi denyut jantungnya telah memberi tanda bahwa dunia baru sedang lahir, dan sekali ia berdetak, mustahil untuk menghentikannya.
Belum ada Komentar untuk "Menjelajahi Jantung Dunia Baru: Petualangan di Balik Aliansi BRICS"
Posting Komentar