Mengapa Tegal Dikenal sebagai Kota Bahari? Membongkar Sejarah di Balik Julukan

Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda ketika mendengar kata “Kota Bahari”? Sebagian orang mungkin langsung membayangkan hamparan pantai, kapal yang berlayar, atau kehidupan nelayan yang akrab dengan laut. Bayangan itu tentu tidak sepenuhnya keliru, sebab kata “bahari” memang identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan maritim. Namun, kisah di balik julukan Kota Bahari yang disematkan pada Tegal ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar asosiasi dengan laut. 


Ada makna ganda yang terkandung dalam istilah tersebut, yakni “bahari” sebagai akronim resmi pemerintah dan “bahari” dalam pengertian historis-maritim yang mencerminkan perjalanan panjang kota ini. Untuk memahami kedua sisi makna tersebut, kita perlu menelusuri akar sejarah Tegal sejak masa awal berdirinya hingga transformasinya menjadi kota modern.


Mengapa Tegal Dikenal sebagai Kota Bahari? Membongkar Sejarah di Balik Julukan



Tegal, yang kini dikenal sebagai salah satu kota penting di pesisir utara Jawa Tengah, memiliki asal-usul yang unik. 
Nama “Tegal” berasal dari kata “tetegalan” yang berarti tanah lapang atau lahan subur yang bisa digarap. Daerah ini sejak dulu memang dikenal sebagai kawasan pertanian yang produktif. Bahkan, seorang penjelajah Portugis bernama Tome Pires dalam catatan abad ke-16 menyebut wilayah ini sebagai “Teteguall”, sebuah penyebutan asing yang merekam bagaimana Tegal sudah dikenal oleh para pelaut dan pedagang internasional. 


Namun, perkembangan Tegal tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh penting bernama Ki Gede Sebayu. Beliau adalah seorang keturunan Majapahit yang hijrah ke daerah ini pada akhir abad ke-16. Dengan pengetahuan dan wawasannya, Ki Gede Sebayu membuka lahan pertanian baru, membangun sistem irigasi di kawasan Danawarih, serta merintis tata kelola yang membuat wilayah ini berkembang pesat. Atas jasanya, ia diangkat menjadi Jurudemung atau demang pada tanggal 12 April 1580, sebuah momen yang kini diperingati sebagai Hari Jadi Kota Tegal. Sejak awal, pilihan lokasi di muara sungai bukanlah kebetulan. Pemukiman dan pemerintahan diletakkan di dekat jalur air agar dapat memanfaatkan potensi maritim sekaligus menjadi penghubung antara pedalaman yang kaya hasil bumi dengan pantai yang strategis untuk perdagangan. Dari titik inilah cikal bakal Tegal sebagai kota dengan dua wajah yaitu agraris dan maritim mulai terbentuk.


Seiring berjalannya waktu, Tegal tidak hanya tumbuh dari sejarah panjangnya, tetapi juga membentuk identitas modern melalui visi pembangunan. Di sinilah istilah “Bahari” memperoleh makna yang berbeda dari sekadar asosiasi dengan laut. Pemerintah kota kemudian merumuskan akronim yang mengandung nilai-nilai luhur pembangunan, Bersih, Aman, Hijau, Asri, Rapi, dan Indah. Akronim ini bukan muncul secara kebetulan, melainkan sebuah upaya sadar untuk meneguhkan citra positif Tegal di mata warganya maupun dunia luar. 


“Bahari” dalam pengertian ini menggambarkan wajah kota yang ingin ditata dengan baik, ramah lingkungan, aman untuk ditinggali, sekaligus menyenangkan secara estetika. Melalui akronim ini, Tegal menunjukkan bahwa ia bukan sekadar kota dengan warisan masa lalu, tetapi juga sebuah kota yang berambisi menghadirkan kenyamanan dan modernitas di tengah persaingan kota-kota lain di Indonesia. Jika ditelisik, penciptaan akronim semacam ini memang lazim digunakan oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia sebagai branding, tetapi pada Tegal, penggunaan istilah “Bahari” terasa lebih kaya makna karena bertaut langsung dengan sejarah maritim kota ini.


Namun, membicarakan Tegal tanpa menyentuh aspek maritimnya tentu akan terasa pincang. Sejarah Tegal sebagai kota pesisir memang sudah mengakar sejak berabad-abad lalu. Pelabuhan Tegal memainkan peran penting dalam jaringan perdagangan di pesisir utara Jawa. 
Dari sini, berbagai hasil bumi dari pedalaman, terutama gula yang menjadi komoditas utama, dikirim ke berbagai wilayah. Posisi strategis di jalur pantura membuat Tegal menjadi simpul perdagangan yang ramai, tempat bertemunya pedagang dari berbagai daerah, bahkan bangsa asing yang berlayar di perairan Nusantara. 


Tidak berlebihan jika pelabuhan menjadi urat nadi yang menghubungkan Tegal dengan dunia luar. Dari jalur maritim inilah terbentuk percampuran budaya, lahirnya masyarakat pesisir yang khas, dan berkembangnya kuliner berbasis hasil laut yang hingga kini masih menjadi daya tarik. Siapa yang tidak kenal dengan olahan ikan Tegal atau warung tegal yang kemudian populer dengan sebutan “warteg”? 
Semua itu lahir dari interaksi erat dengan laut dan kebiasaan masyarakat yang bergantung pada perikanan.


Industri bahari di Tegal tidak berhenti hanya pada perikanan tradisional. Sejak lama, kota ini juga dikenal dengan industri perkapalannya. Galangan kapal di Tegal menjadi pusat pembangunan dan perbaikan kapal yang melayani nelayan maupun kapal dagang. Hingga sekarang, sektor ini tetap menjadi salah satu tulang punggung perekonomian lokal. Aktivitas bahari itu mencerminkan bahwa Tegal memang memiliki DNA maritim yang kuat, sesuatu yang tidak bisa dihapuskan meskipun zaman sudah berubah. 
Menariknya, inilah yang membuat istilah “Bahari” terasa natural. Bahkan tanpa akronim resmi sekalipun, Tegal secara organik sudah layak disebut kota bahari karena sejarah, budaya, dan ekonominya yang terhubung erat dengan laut.


Pada titik inilah kita melihat bagaimana dua makna “Bahari” saling melengkapi. Di satu sisi, akronim Bersih, Aman, Hijau, Asri, Rapi, dan Indah adalah visi ke depan, sebuah gagasan modern yang ingin menampilkan Tegal sebagai kota yang nyaman, ramah, dan indah. Di sisi lain, “bahari” dalam arti maritim adalah akar yang dalam, identitas asli yang sudah melekat sejak masa awal berdirinya kota. Kedua makna ini tidak saling meniadakan, melainkan memperkuat. Identitas bahari historis memberikan fondasi kultural dan ekonomi yang kuat, sementara akronim bahari modern menghadirkan arah pembangunan yang jelas dan aspiratif. Dengan kata lain, Tegal adalah kota yang berhasil menjahit masa lalu dan masa depan ke dalam satu identitas yang padu.


Maka, ketika kita mendengar julukan “Kota Bahari”, sebaiknya kita tidak hanya membayangkan gelombang laut dan kapal yang bersandar di pelabuhan. Lebih dari itu, kita sebaiknya memahami bahwa julukan ini adalah simbol dari perjalanan panjang Tegal, dari tanah lapang yang subur, dari tangan-tangan tokoh seperti Ki Gede Sebayu yang membuka lahan, dari pelabuhan yang menghubungkan pedalaman dengan dunia luar, hingga visi modern pemerintah untuk menciptakan kota yang nyaman. 
Tegal adalah bukti bahwa sebuah kota bisa memiliki banyak lapisan identitas, dan semuanya saling menopang.


Pada akhirnya, Tegal bukan hanya kota di pesisir Jawa yang terkenal dengan wartegnya. Ia adalah kota yang merepresentasikan perpaduan harmonis antara warisan sejarah dan ambisi modern. Bahwa “Kota Bahari” bukanlah sekadar nama panggilan manis, melainkan cerminan dari identitas kaya dan dinamis yang terus hidup hingga hari ini.

Belum ada Komentar untuk "Mengapa Tegal Dikenal sebagai Kota Bahari? Membongkar Sejarah di Balik Julukan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel