Mengapa Kontribusi Perempuan dalam Dunia Medis Jarang Tercatat Sejarah?


Mengapa Kontribusi Perempuan dalam Dunia Medis Jarang Tercatat Sejarah


Siapa dokter perempuan pertama di Indonesia? 
Tahukah Anda bahwa banyak inovasi medis penting justru berasal dari perempuan, tetapi nama mereka jarang tercatat dalam buku sejarah? 
Pertanyaan ini membuka pintu pada sebuah kenyataan pahit bahwa sejarah medis yang sering kita kenal ternyata lebih banyak menyoroti tokoh laki-laki, sementara peran perempuan di dalamnya terabaikan, padahal kontribusinya sangat signifikan. Dari penyembuh tradisional di desa-desa hingga ilmuwan di laboratorium modern, perempuan memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan, merawat yang sakit, bahkan menemukan hal-hal besar, meskipun dunia jarang mengingat nama mereka.

Sejarah medis sering dipenuhi nama-nama besar laki-laki seperti Hippocrates, Galen, Louis Pasteur, hingga Alexander Fleming. Namun, di balik layar, perempuan sejak ribuan tahun lalu sudah menjadi penyembuh, bidan, dan perawat yang menjaga kehidupan komunitas mereka. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa jejak langkah mereka begitu samar dalam catatan sejarah? 
Mengapa inovasi yang lahir dari tangan perempuan sering kali dikaitkan dengan laki-laki atau bahkan dihapuskan sama sekali? 
Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri perjalanan panjang perempuan dalam dunia medis, mulai dari era kuno hingga zaman modern.

Jika kita kembali ke masa lalu, sebelum kedokteran menjadi disiplin yang terstruktur seperti sekarang, perawatan kesehatan sering dilakukan oleh orang-orang di komunitas dengan pengetahuan turun-temurun. Dalam banyak masyarakat kuno, perempuan menempati posisi penting sebagai penyembuh. Mereka meracik herbal, membantu proses kelahiran, dan menjadi sumber pengetahuan medis praktis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di banyak budaya, keahlian ini dihormati. Namun seiring waktu, ketika ilmu kedokteran mulai dilembagakan dan lahir institusi formal seperti sekolah kedokteran, posisi perempuan mulai tergeser.

Pada Abad Pertengahan di Eropa misalnya, penyembuh perempuan sering dipandang dengan curiga. Pengetahuan mereka tentang tanaman obat dan praktik penyembuhan tradisional yang sebelumnya dihargai, kemudian dikaitkan dengan takhayul atau bahkan sihir. Tidak sedikit dari mereka yang dituduh sebagai “penyihir” hanya karena memiliki kemampuan menyembuhkan dengan cara-cara yang belum bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan saat itu. 
Perempuan yang sebelumnya berperan penting dalam kesehatan komunitas malah menjadi korban persekusi. Tuduhan-tuduhan itu tidak hanya menghentikan praktik mereka, tetapi juga mendiskreditkan seluruh pengetahuan yang mereka bawa.

Ketika kedokteran berkembang menjadi profesi terstruktur melalui universitas-universitas di Eropa, pintu lembaga pendidikan itu hampir sepenuhnya tertutup bagi perempuan. Selama berabad-abad, sekolah kedokteran hanya menerima laki-laki, dengan dalih bahwa perempuan tidak layak atau tidak mampu menempuh pendidikan ilmiah. 
Sementara itu, profesi seperti bidan atau perawat dianggap sebagai “ranah perempuan”, tetapi dipandang kurang bergengsi dibandingkan dokter atau ahli bedah yang didominasi laki-laki. Perempuan akhirnya terjebak dalam peran yang dianggap sekunder, meski kenyataannya peran itu vital dalam menyelamatkan nyawa.

Perjuangan untuk masuk ke dunia kedokteran formal tidak mudah. Salah satu contoh nyata datang dari Elizabeth Blackwell di Amerika Serikat. Ia menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar dokter di tahun 1849, meskipun awalnya ditolak oleh banyak institusi medis. Perjalanannya penuh dengan diskriminasi, dari ejekan teman sekelas hingga sulitnya mendapatkan pasien karena stigma masyarakat. Namun keberhasilan Blackwell membuka jalan bagi banyak perempuan lain untuk menembus dunia kedokteran. Di Indonesia, ada Marie Thomas, perempuan pertama yang menjadi dokter pada awal abad ke-20. Ia tidak hanya harus menghadapi keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan pribumi, tetapi juga melawan stereotip gender yang kental di masyarakat kolonial.

Namun meskipun ada tokoh-tokoh inspiratif seperti Blackwell dan Thomas, tantangan perempuan di dunia medis tidak berhenti pada akses pendidikan. Bahkan ketika mereka berhasil masuk ke dunia riset, kontribusi mereka sering kali tidak diakui atau bahkan diklaim oleh kolega laki-laki. Kasus Rosalind Franklin adalah salah satu contoh paling terkenal. Foto-foto hasil risetnya tentang struktur DNA menjadi kunci utama bagi James Watson dan Francis Crick untuk memformulasikan model heliks ganda DNA. Sayangnya, penghargaan Nobel hanya diberikan kepada Watson, Crick, dan Maurice Wilkins, sementara nama Franklin hampir hilang dari narasi besar sejarah penemuan DNA. Kisah ini mencerminkan pola yang berulang dimana kerja keras perempuan sering dipandang sebelah mata dan disamarkan di balik nama laki-laki.

Mengapa hal ini bisa terjadi? 
Salah satunya karena sejarah medis, seperti banyak bidang sejarah lainnya, ditulis oleh laki-laki. Sejarawan laki-laki cenderung menyoroti tokoh laki-laki yang dianggap “besar”, sementara peran perempuan dianggap kurang penting atau sekadar pelengkap. 
Bias ini tidak hanya ada dalam catatan sejarah, tetapi juga dalam cara masyarakat menilai kontribusi. Sementara penelitian di laboratorium atau institusi besar mudah tercatat, peran perempuan yang lebih banyak berlangsung di rumah, komunitas, atau bidang perawatan sehari-hari dianggap remeh dan jarang terdokumentasi secara formal. Padahal, peran itu justru menjadi pondasi kesehatan masyarakat yang sangat krusial.

Kondisi sosial-budaya turut memperparah situasi. Dalam masyarakat yang didominasi laki-laki, perempuan sering dipandang hanya cocok untuk peran domestik. Akibatnya, meskipun mereka berperan penting dalam bidang medis, pengakuan terhadap kontribusi mereka nyaris tidak ada. Hambatan sosial-budaya, diskriminasi pendidikan, dominasi laki-laki dalam profesi medis, serta bias dalam penulisan sejarah semuanya bersatu membentuk dinding yang sulit ditembus oleh perempuan.

Namun, meskipun sejarah mencatat lebih banyak nama laki-laki, tidak berarti kontribusi perempuan hilang begitu saja. Banyak kisah yang akhirnya mulai diangkat kembali oleh sejarawan modern yang berusaha lebih inklusif. 
Misalnya, kisah Florence Nightingale yang membawa revolusi dalam dunia keperawatan, atau kontribusi bidan-bidan lokal di berbagai negara yang secara praktis membantu menyelamatkan ribuan ibu melahirkan. Pengakuan ini penting, bukan hanya untuk menghargai jasa mereka, tetapi juga untuk menunjukkan kepada generasi baru bahwa dunia medis tidak pernah sepenuhnya hanya milik satu gender.

Jika kita merangkum perjalanan ini, ada beberapa faktor utama yang membuat kontribusi perempuan jarang tercatat dalam sejarah medis. 

Pertama, hambatan sosial-budaya yang mengurung perempuan dalam peran domestik dan membatasi ruang gerak mereka. 

Kedua, diskriminasi dalam pendidikan yang membuat perempuan sulit menembus sekolah kedokteran. 

Ketiga, dominasi laki-laki dalam profesi medis yang menutup peluang perempuan untuk berkembang. 

Keempat, bias dalam penulisan sejarah yang cenderung hanya menyoroti tokoh laki-laki. 

Faktor - Faktor inilah yang kemudian membentuk pola panjang penghapusan kontribusi perempuan dalam dunia medis.

Mengapa kita perlu menggali kembali kontribusi perempuan di masa lalu?
Jawabannya sederhana untuk keadilan dan untuk sebuah inspirasi. 
Mengakui peran mereka bukan hanya soal memberi kredit pada nama-nama yang terlupakan, tetapi juga soal memberi contoh kepada generasi sekarang bahwa inovasi dan kepedulian tidak mengenal gender. Kisah perjuangan tokoh-tokoh perempuan yang menembus diskriminasi bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak muda, terutama perempuan, untuk berani mengejar cita-cita mereka di bidang medis atau sains.

Sejarah tidak boleh lagi hanya ditulis dari satu sudut pandang. Inklusivitas dalam penulisan sejarah sangat penting, agar kita tidak hanya mengingat separuh dari kisah manusia. Dunia medis dibangun oleh banyak tangan, baik laki-laki maupun perempuan. Tanpa peran bidan desa, tanpa inovasi peneliti perempuan, tanpa keteguhan dokter perempuan yang berjuang melawan stigma, dunia medis tidak akan sampai pada titiknya saat ini.

Pada akhirnya, pertanyaan besar yang perlu kita renungkan adalah bagaimana kita bisa menulis ulang sejarah agar lebih adil dan lebih lengkap? 
Mungkin jawabannya ada pada kita semua, yaitu dengan berani mengakui, menyoroti, dan merayakan kontribusi perempuan yang selama ini terabaikan. Karena setiap nyawa yang diselamatkan, setiap inovasi yang ditemukan, setiap pengetahuan yang diwariskan tidak peduli apakah berasal dari laki-laki atau perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan besar manusia melawan penyakit dan penderitaan.

Maka, sudah saatnya kita berhenti bertanya “mengapa kontribusi perempuan jarang tercatat?”, dan mulai bergerak untuk memastikan bahwa kontribusi mereka di masa kini dan masa depan tidak lagi terlupakan. Sejarah medis bukan hanya milik para tokoh besar laki-laki, tetapi milik semua orang yang telah memberikan hidupnya untuk kesehatan dan kemanusiaan.

Belum ada Komentar untuk "Mengapa Kontribusi Perempuan dalam Dunia Medis Jarang Tercatat Sejarah?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel