Bagaimana Korea Utara Berdiri? Inilah Sejarah Lengkapnya dari Awal Hingga Sekarang
Kamis, 07 Agustus 2025
Tambah Komentar
Sejarah Korea Utara tidak dapat dipisahkan dari pergolakan ideologi dunia, perang saudara serta dinamika Perang Dingin yang membelah dunia abad ke-20.
Pada awal abad tersebut, Semenanjung Korea masih dikuasai oleh Jepang, yang menjajah wilayah itu sejak tahun 1910. Masa penjajahan Jepang sangat keras.
Korea ditekan dari berbagai aspek mulai dari bahasa, budaya lokal hingga eksploitasi ekonomi untuk kepentingan Kekaisaran Jepang.
Namun di tengah penindasan itu, muncul perlawanan dari tokoh-tokoh nasionalis Korea, termasuk salah satunya Kim Il Sung, yang kelak menjadi pendiri Korea Utara. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II tahun 1945, wilayah Korea terbagi menjadi dua zona pendudukan, dimana bagian utara dikuasai oleh Uni Soviet sementara bagian selatan dikuasai oleh Amerika Serikat. Awalnya pembagian ini bersifat administratif semata, dengan garis demarkasi di paralel ke-38. Namun tensi ideologis antara Soviet dan Amerika semakin tinggi, yang kemudian berubah menjadi Perang Dingin, sehingga pembagian dua zona tersebut berkembang menjadi dua negara yang benar-benar berbeda sistem antara komunis di utara dan kapitalis-demokratis di selatan.
Pada 1948, Republik Demokratik Rakyat Korea atau Korea Utara resmi diproklamasikan dengan Kim Il Sung sebagai pemimpin tertinggi.
Di selatan, berdirilah Republik Korea atau Korea Selatan di bawah Syngman Rhee. Kedua pihak mengklaim diri sebagai satu-satunya pemerintah sah untuk seluruh Korea, sehingga konflik tak terhindarkan.
Hingga Pada tahun 1950, perang bersaudara meletus ketika Korea Utara menyerang Korea Selatan. Perang Korea ini berlangsung tiga tahun dan menjadi salah satu konflik paling berdarah pasca-Perang Dunia II. Korea Selatan dibantu Amerika Serikat dan pasukan PBB, sementara Korea Utara mendapat dukungan militer dari Uni Soviet dan Tiongkok. Perang ini berakhir dengan gencatan senjata tahun 1953, bukan perjanjian damai, sehingga secara teknis kedua Korea hingga kini masih dalam status perang. Garis Demiliterisasi atau DMZ dibentuk sebagai wilayah pemisah, tetapi ketegangan militer terus terasa.
Setelah perang, Kim Il Sung membangun pemerintahan sangat sentralistik dan ideologi Juche, yang berarti “berdiri di atas kaki sendiri”. Ideologi ini menekankan kemandirian ekonomi, militer dan politik. Kim Il Sung memanfaatkannya untuk menciptakan kultus individu, menggambarkan dirinya sebagai “Bapak Bangsa” yang tak bisa diganggu gugat. Semua bidang kehidupan diatur negara. Korea Utara menerima bantuan besar dari Uni Soviet dan Tiongkok untuk rekonstruksi pasca perang. Pada dekade 1960-an dan awal 1970-an, secara mengejutkan ekonomi Korea Utara sempat lebih maju daripada Korea Selatan.
Dimana kala itu Sistem industri berat milik negara menghasilkan baja, mesin dan amunisi.
Pendidikan dan kesehatan diberikan gratis dan sebagian besar pendukung sistem komunis menganggap Korea Utara sebagai model negara sosialis.
Namun situasi berubah ketika Uni Soviet runtuh tahun 1991. Korea Utara kehilangan sebagian besar bantuan ekonomi. Isolasi internasional yang disusul sanksi ekonomi menyebabkan negeri tersebut mengalami kelaparan besar selama pertengahan 1990-an. Bencana kelaparan tersebut menyebabkan ratusan ribu hingga jutaan orang meninggal akibat kelaparan.
Kim Il Sung meninggal dunia tahun 1994, digantikan oleh putranya, Kim Jong Il.
Masa Kim Jong Il dikenal dengan krisis ekonomi parah, tetapi pemerintah tetap fokus membangun kekuatan militer, terutama program nuklir. Korea Utara semakin terisolasi, menjalankan kebijakan “military first” yang dikenal sebagai Songun. Meski rakyat menderita kelaparan, pemerintah mengalirkan sebagian besar sumber daya untuk militer dan pengembangan teknologi nuklir sebagai jaminan kelangsungan rejim.
Pada awal 2000-an, Korea Utara melakukan serangkaian uji coba rudal balistik dan nuklir, sehingga mendapat sanksi lebih keras dari PBB. Meskipun sesekali diadakan perundingan enam pihak (antara Korea Utara, Korea Selatan, AS, Tiongkok, Jepang dan Rusia), selalu terjadi kecurigaan dan saling tuduh pelanggaran kesepakatan. Kim Jong Il memperkuat propagandanya melalui media dalam negeri. Tidak ada kebebasan pers, tidak ada oposisi politik dan rakyat disuruh menyembah pemimpin seperti tokoh suci. Kebijakan ekonomi agak terbuka pada tahun 2000-an dengan dibukanya zona industri Kaesong, bekerja sama dengan Korea Selatan, namun proyek ini sering dihentikan ketika hubungan memanas.
Setelah Kim Jong Il meninggal tahun 2011, kekuasaan diteruskan oleh putranya Kim Jong Un yang masih sangat muda saat itu. Banyak pengamat memperkirakan akan terjadi ketidakstabilan, tetapi Kim Jong Un berhasil memperkukuh kekuasaan dengan cara keras. Ia menyingkirkan pejabat tinggi yang dituding sebagai pengkhianat, bahkan termasuk pamannya sendiri, Jang Song Thaek, yang dieksekusi pada 2013.
Kim Jong Un melanjutkan program nuklir dengan intensitas lebih tinggi. Uji coba nuklir dilakukan lebih sering, bersamaan dengan peluncuran rudal jarak jauh yang bahkan mampu mencapai wilayah Amerika Serikat. Ancaman ini membuat dunia internasional kembali menjatuhkan sanksi, namun Korea Utara justru menjadikan program nuklir sebagai simbol kekuatan nasional dan alat tawar dalam diplomasi.
Pada tahun 2018 terjadi momen mengejutkan, dimana Kim Jong Un bertemu dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, di zona demiliterisasi. Pertemuan ini membawa harapan baru rekonsiliasi. Bahkan Kim Jong Un juga mengadakan pertemuan langsung dengan Presiden AS, Donald Trump, di Singapura tahun yang sama, disusul pertemuan di Hanoi tahun 2019. Meski diplomasi ini mencetak foto bersejarah, hasil konkritnya sangat sedikit. Korea Utara tetap mempertahankan program nuklir, sementara AS dan sekutunya enggan mencabut sanksi hingga ada langkah denuklirisasi nyata. Hubungan kembali memburuk setelah pembicaraan buntu.
Korea Utara hingga saat ini terus dikucilkan dunia internasional. Warganya hidup sangat tertutup dari informasi luar. Negara ini dianggap sebagai salah satu negara paling otoriter di dunia. Pembelotan warga Korea Utara menunjukkan kondisi kehidupan yang keras: kekurangan makanan, pemaksaan ideologi dan hukuman terhadap seluruh keluarga jika satu anggota melanggar aturan. Sistem kasta sosial yang disebut songbun menentukan hak seseorang berdasarkan kesetiaan keluarga mereka terhadap rezim. Sementara itu, pemerintah terus mengembangkan citra pemimpin sebagai sosok ilahi, diwariskan turun-temurun dari Kim Il Sung ke Kim Jong Il hingga Kim Jong Un. Mereka digambarkan sebagai pelindung bangsa, dan ulang tahun mereka dirayakan seperti hari agama.
Meski tertutup, Korea Utara cukup sukses menciptakan citra militer kuat. Parade militer rutin digelar menampilkan rudal, tank, dan pasukan berbaris. Negara ini memanfaatkan ancaman nuklir agar tidak digulingkan seperti Irak atau Libya. Bagi rezim, senjata nuklir adalah jaminan eksistensi mereka.
Meskipun Dunia luar mencoba berbagai cara untuk menekan rezim di Korea Utara mulai dari sanksi ekonomi, embargo minyak, ajakan dialog, hingga tekanan diplomatik, tetapi rezim tetap kokoh. Tiongkok menjadi salah satu sedikit negara yang masih berhubungan dengan Korea Utara, menyediakan bantuan ekonomi terbatas meski ikut mengecam uji coba nuklir.
Di bidang budaya, masyarakat Korea Utara hanya boleh mengonsumsi musik, film dan buku propaganda. Radio hanya menyiarkan berita dalam negeri. Internet tidak tersedia untuk umum dan hanya bagi beberapa elit. Pendidikan di sekolah penuh dengan doktrinari tentang Kim Il Sung dan Kim Jong Il sebagai pahlawan revolusi melawan imperialis.
Walau demikian, beberapa tahun terakhir terlihat sedikit perubahan, dimana pembangunan kawasan hiburan di Pyongyang, pembangunan apartemen baru dan fasilitas publik untuk menunjukkan bahwa negara itu tidak sepenuhnya stagnan. Namun semua kemajuan itu hanya dinikmati oleh sebagian kecil elit di Pyongyang. Rakyat biasa di luar kota hidup dalam kesulitan.
Saat ini, Korea Utara menjadi negara nuklir de facto meskipun tidak diakui secara resmi oleh dunia. CIA dan lembaga intelijen dunia terus memantau pergerakan militer negara tersebut. Para cendekiawan memperdebatkan apakah perubahan dari dalam bisa terjadi, atau apakah rezim akan runtuh suatu saat nanti seperti Jerman Timur dahulu. Beberapa percaya bahwa isolasi ekonomi tidak akan bertahan selamanya. Namun hingga kini rezim tetap kuat karena menggunakan kombinasi ketakutan, kontrol total dan propaganda ideologis.
Dalam sudut pandang sejarah lebih luas, Korea Utara adalah contoh ekstrem bagaimana sebuah negara yang lahir karena konflik Perang Dingin berkembang menjadi sistem dinasti komunis yang unik.
Negara itu memadukan Marxisme, nasionalisme Korea, cult of personality dan militerisme menjadi ideologi asli mereka. Bila ditelusuri jejaknya, negara ini berawal dari semangat anti-imperialisme kolonial dan cita-cita revolusi, tetapi yang terjadi kemudian adalah tersalurnya seluruh kekuasaan kepada satu keluarga. Dari luar, Korea Utara sering disebut negara tertutup dan misterius. Namun bagi warganya, ini adalah satu-satunya realitas yang mereka kenal sejak lahir.
Kemungkinan masa depan Korea Utara akan sangat dipengaruhi oleh kesehatan Kim Jong Un, dinamika Tiongkok, serta kondisi ekonomi dalam negeri. Jika perubahan ekonomi terjadi secara bertahap, mungkin terbuka ruang kemajuan kecil. Tetapi jika terjadi implosi politik, dampaknya bisa sangat besar bagi kawasan Asia Timur. Sejarah panjang Korea Utara adalah kisah tentang ideologi, peperangan, ambisi nuklir, dan penderitaan rakyat, tetapi juga tentang kemampuan sebuah rezim bertahan melawan tekanan besar selama lebih dari tujuh dekade. Negara ini tetap menjadi salah satu teka-teki terbesar dalam panggung geopolitik modern, meninggalkan pertanyaan apakah suatu hari kelak Semenanjung Korea akan bersatu kembali, atau justru akan menjadi titik konflik baru dunia.
Belum ada Komentar untuk "Bagaimana Korea Utara Berdiri? Inilah Sejarah Lengkapnya dari Awal Hingga Sekarang"
Posting Komentar