Tanah yang Dijanjikan: Sejarah Palestina dan Israel dari Zaman Kuno hingga Kini
Kamis, 17 Juli 2025
Tambah Komentar
Bangsa Kanaan, Penghuni Awal Tanah yang Subur
Sekitar 3000 tahun sebelum Masehi, wilayah yang kini kita kenal sebagai Palestina atau Israel dihuni oleh bangsa Kanaan, kelompok masyarakat kuno yang berasal dari rumpun Semitik Barat. Mereka bukan satu bangsa tunggal, melainkan terdiri dari banyak suku dan kota-kota kecil yang merdeka seperti Yerikho, Hazor, Megiddo, dan Ugarit. Masing-masing kota memiliki rajanya sendiri, dan kehidupan masyarakat bergantung pada pertanian, peternakan, serta perdagangan.
Bangsa Kanaan memiliki agama yang politeistik, menyembah dewa-dewi seperti El (dewa tertinggi), Baal (dewa badai dan kesuburan), dan Asherah (dewi ibu). Mereka membangun altar di bukit-bukit tinggi dan sering mempersembahkan hewan kepada para dewa. Bukti arkeologis dari budaya Kanaan banyak ditemukan, mulai dari tembikar, prasasti, hingga reruntuhan kota bertembok. Secara budaya dan bahasa, mereka punya kemiripan dengan bangsa Fenisia di utara.
Kedatangan Bani Israil
Sekitar abad ke-13 atau ke-12 SM, masuklah sebuah kelompok baru yang dikenal sebagai Bani Israil. Berdasarkan tradisi dalam kitab suci Yahudi dan Islam, mereka adalah keturunan Nabi Yakub (Israel) yang sebelumnya tinggal di Mesir. Setelah mengalami masa perbudakan, mereka dibebaskan melalui kepemimpinan Nabi Musa, dan setelah 40 tahun mengembara di padang gurun, mereka diyakini memasuki tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua.
Dalam versi tradisional (seperti dalam Kitab Yosua), mereka merebut kota-kota besar seperti Yerikho dan Ai melalui peperangan. Namun, catatan sejarah dan arkeologi modern menyarankan bahwa proses kedatangan ini kemungkinan besar tidak terjadi dalam bentuk penaklukan besar-besaran, melainkan lewat proses bertahap: migrasi, penyusupan damai, atau bahkan pemberontakan sosial internal di dalam masyarakat Kanaan itu sendiri. Bahasa dan budaya awal orang Israel juga sangat mirip dengan orang Kanaan, yang menunjukkan bahwa mereka mungkin berasal atau bercampur dengan penduduk lokal.
Setelah menetap, Bani Israil membentuk komunitas suku-suku yang tersebar di wilayah pegunungan. Mereka belum memiliki kerajaan, melainkan hidup dalam sistem kesukuan dengan pemimpin-pemimpin sementara yang disebut Hakim. Inilah masa awal dari terbentuknya identitas orang Israel sebagai kelompok religius dan etnis yang terpisah dari masyarakat Kanaan.
Bangsa Filistin
Sementara itu, pada masa yang hampir bersamaan sekitar abad ke-12 SM, datanglah kelompok lain yang disebut Bangsa Filistin, yang menetap di wilayah pesisir selatan Kanaan, sekitar daerah yang kini dikenal sebagai Gaza, Ashkelon, dan Ashdod. Mereka diyakini berasal dari wilayah Laut Aegea atau Kreta, dan termasuk bagian dari kelompok yang dikenal dalam sejarah Mesir sebagai "Bangsa Laut".
Bangsa Filistin berbeda dari Kanaan dan Bani Israil. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam teknologi besi, memiliki kebudayaan yang maju, dan struktur politik yang terorganisir dalam lima kota utama (Pentapolis): Gaza, Ashkelon, Ashdod, Ekron, dan Gat. Mereka sering berkonflik dengan Bani Israil, terutama selama masa para Hakim dan awal kerajaan Israel. Tokoh-tokoh seperti Samson, Saul, dan Daud terlibat langsung dalam peperangan melawan Filistin. Salah satu cerita paling terkenal adalah Daud melawan Goliat, yang menggambarkan konflik antara dua bangsa ini.
Pada masa ini, tanah Kanaan menjadi tempat pertemuan tiga kelompok utama:
1. Bangsa Kanaan sebagai penduduk lama dengan kebudayaan mapan.
2. Bani Israil sebagai kelompok baru yang membangun identitas religius dan etnis sendiri.
3. Bangsa Filistin sebagai kekuatan maritim dan militer di wilayah pesisir.
Hubungan ketiganya yang kompleks menyebabkan terjadinya perang, perdagangan, pertukaran budaya, dan kadang hidup berdampingan. Periode ini menjadi fondasi penting bagi sejarah, mitos, dan narasi keagamaan yang membentuk cara pandang dunia terhadap wilayah ini hingga sekarang.
Munculnya Kerajaan Israel dan Yehuda
Setelah masa permukiman dan sistem kesukuan yang berlangsung selama beberapa abad, sekitar abad ke-11 SM, Bani Israil mulai meminta sistem pemerintahan yang lebih stabil. Mereka menginginkan seorang raja yang bisa menyatukan suku-suku dan menghadapi ancaman eksternal, terutama dari bangsa Filistin yang saat itu menjadi kekuatan militer dominan di wilayah pesisir.
Raja pertama mereka adalah Saul, yang dikenal sebagai pemimpin perang melawan Filistin. Namun, masa pemerintahannya tidak stabil, dan ia kemudian digantikan oleh Daud, seorang tokoh muda dari suku Yehuda yang terkenal karena mengalahkan Goliat. Daud berhasil mempersatukan suku-suku Israel, menaklukkan Yerusalem, dan menjadikannya ibu kota kerajaan. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh paling penting dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam.
Penerus Daud, Salomo, membawa kerajaan ke masa keemasan. Di bawah pemerintahannya, dibangunlah Bait Suci pertama di Yerusalem, yang menjadi pusat spiritual bangsa Israel. Kerajaan menjadi makmur, memiliki hubungan dagang dengan banyak bangsa lain, dan menjalankan pemerintahan terpusat yang kuat.
Namun setelah Salomo wafat, sekitar tahun 930 SM, terjadi perpecahan kerajaan. Kerajaan terbelah menjadi dua:
1. Kerajaan Israel di utara, dengan ibu kota pertama di Shekhem lalu pindah ke Samaria.
2. Kerajaan Yehuda di selatan, dengan ibu kota tetap di Yerusalem.
Kerajaan Israel terdiri dari sepuluh suku, sementara Yehuda terdiri dari dua (Yehuda dan Benyamin). Perpecahan ini menyebabkan ketidakstabilan politik dan kerentanan terhadap serangan luar. Di waktu yang sama, kerajaan-kerajaan besar di kawasan seperti Asyur dan Babilonia mulai memperluas kekuasaan mereka.
Penaklukan Asyur dan Babilonia
Pada tahun 722 SM, Kerajaan Israel ditaklukkan oleh bangsa Asyur. Banyak penduduknya diangkut atau tersebar ke wilayah lain, dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “hilangnya sepuluh suku Israel”. Setelah itu, hanya Kerajaan Yehuda yang tersisa sebagai entitas Yahudi mandiri.
Namun kerajaan Yehuda pun tak bertahan lama. Sekitar tahun 586 SM, Kekaisaran Babilonia di bawah Nebukadnezar II menyerang Yerusalem. Kota itu dihancurkan, dan Bait Suci pertama dibakar habis. Sebagian besar penduduk Yehuda, terutama kalangan elit, diangkut ke Babilonia sebagai tawanan. Masa ini dikenal sebagai Pembuangan Babilonia. Meskipun menjadi minoritas di tanah asing, komunitas Yahudi tetap menjaga identitas mereka, menulis ulang tradisi, dan memperkuat kepercayaan monoteistik mereka.
Setelah itu, Sekitar tahun 539 SM, Babilonia ditaklukkan oleh Koresh Agung dari Persia. Tidak seperti raja Babilonia sebelumnya, Koresh bersikap lebih toleran terhadap berbagai kelompok etnis dan agama. Ia mengizinkan orang Yahudi yang diasingkan untuk kembali ke tanah Yehuda, dan bahkan mendukung pembangunan kembali Bait Suci di Yerusalem, yang dikenal sebagai Bait Suci Kedua.
Meski kembali ke tanah asal, orang Yahudi tidak lagi memiliki kerajaan merdeka. Mereka hidup sebagai bagian dari provinsi di bawah kekuasaan Persia, dengan otonomi terbatas yang dipimpin oleh imam dan penatua. Periode ini memperkuat identitas keagamaan Yahudi sebagai bangsa yang hidup dalam diaspora, namun tetap memiliki ikatan spiritual dengan Yerusalem.
Pada Periode ini dari berdirinya kerajaan pertama hingga kehancuran dan pembuangan, lalu kembali dari pengasingan, merupakan fase paling menentukan dalam pembentukan identitas dan ingatan sejarah bangsa Yahudi. Ini juga menjadi dasar banyak narasi keagamaan dan politik yang bertahan hingga masa modern. Di waktu yang sama, tanah ini tetap menjadi titik pertemuan dan perebutan banyak kekuatan besar kuno, menjadikannya wilayah yang terus berubah dalam kendali dan pengaruh.
Kekuasaan Yunani (Helenistik)
Pada tahun 332 SM, wilayah Palestina/Yehuda menjadi bagian dari kekuasaan Aleksander Agung dari Makedonia. Setelah Aleksander wafat secara mendadak, kekaisarannya terpecah di antara para jenderalnya. Wilayah Yehuda awalnya dikuasai oleh dinasti Ptolemaik dari Mesir, lalu jatuh ke tangan dinasti Seleukid yang berpusat di Suriah.
Selama masa ini, masuklah pengaruh budaya Yunani secara kuat. Kota-kota seperti Yerusalem, Gaza, dan Sebaste mulai mengadopsi gaya hidup, bahasa, dan sistem sosial ala Yunani (dikenal sebagai proses Hellenisasi). Sebagian orang Yahudi terbuka terhadap budaya Yunani, tetapi banyak juga yang menolaknya karena dianggap bertentangan dengan ajaran monoteistik mereka.
Ketegangan memuncak ketika raja Seleukid, Antiokhus IV Epifanes, mencoba memaksakan penyembahan kepada dewa-dewa Yunani dan melarang praktik agama Yahudi, termasuk sunat dan ibadah di Bait Suci. Ia bahkan menodai Bait Suci dengan mempersembahkan korban kepada dewa Zeus. Tindakan ini memicu kemarahan besar.
Pemberontakan Makabe dan Dinasti Hasmonean
Sekitar tahun 167 SM, meletuslah Pemberontakan Makabe, dipimpin oleh seorang imam bernama Matatias dan putranya, terutama Yudas Makabe. Mereka memimpin kelompok pejuang Yahudi dalam perlawanan sengit melawan kekuasaan Seleukid. Setelah beberapa tahun perang gerilya, mereka berhasil merebut kembali Yerusalem dan membersihkan Bait Suci, sebuah peristiwa yang hingga kini diperingati dalam tradisi Yahudi sebagai Hanukkah.
Setelah kemenangan itu, berdirilah Dinasti Hasmonean, yang memerintah Yehuda secara mandiri selama hampir satu abad. Mereka bukan hanya pemimpin religius, tetapi juga raja, dan bahkan memperluas wilayah kekuasaan mereka dengan menaklukkan tetangga-tetangga non-Yahudi.
Namun, seperti banyak kekuasaan manusia, konflik internal muncul. Perebutan kekuasaan di antara keturunan Hasmonean melemahkan kerajaan, dan membuka jalan bagi masuknya kekuatan asing yang baru yaitu Romawi.
Pada tahun 63 SM, jenderal Romawi Pompey memasuki Yerusalem setelah diminta campur tangan dalam sengketa dinasti Hasmonean. Sejak saat itu, wilayah Yehuda berada di bawah pengaruh Romawi, meski awalnya tetap dipimpin oleh raja lokal.
Salah satu tokoh paling terkenal dari masa awal kekuasaan Romawi adalah Herodes Agung, yang ditunjuk sebagai raja oleh Romawi. Ia bukan keturunan Hasmonean, tetapi dari suku Edom (Idumea), yang sudah di-Yahudikan sebelumnya. Herodes dikenal sebagai pemimpin yang sangat ambisius dan kejam, tetapi juga seorang pembangun besar.
Ia memperluas dan memperindah Bait Suci Kedua menjadi bangunan yang sangat megah. Ia juga membangun benteng, pelabuhan, dan kota-kota baru, termasuk Kaisarea Maritima. Namun, Herodes juga terkenal karena paranoid dan keras terhadap siapa pun yang dianggap ancaman, termasuk anggota keluarganya sendiri.
Meskipun Romawi tidak secara langsung memerintah setiap hari, mereka mengontrol militer, ekonomi, dan politik tingkat tinggi. Ketegangan antara masyarakat Yahudi dan kekuasaan Romawi terus tumbuh, terutama karena pajak yang tinggi, kebebasan agama yang kadang terganggu, dan perasaan bahwa Yerusalem telah kehilangan kedaulatannya.
Pada akhir abad pertama SM dan awal abad pertama M, ketegangan ini semakin terasa. Masyarakat Yahudi terpecah antara kelompok yang ingin melawan Romawi (seperti Zelot), yang ingin bekerja sama (Herodian dan para imam), dan yang lebih menekankan hukum agama (Farisi dan Saduki).
Dalam konteks inilah muncul tokoh-tokoh keagamaan baru, termasuk Yesus dari Nazaret, yang kelak menjadi pusat ajaran Kekristenan. Meskipun pada awalnya ajarannya ditujukan bagi orang Yahudi, para pengikutnya kemudian menyebarkan ajaran itu ke dunia Romawi, dan akan membawa perubahan besar pada peradaban berikutnya.
Periode Helenistik dan awal kekuasaan Romawi merupakan masa penting ketika identitas Yahudi diperkuat di tengah pengaruh budaya asing dan tekanan politik. Di tengah-tengah gejolak itu, berdiri tokoh-tokoh penting, pemberontakan, serta karya-karya keagamaan yang kelak menjadi bagian dari warisan dunia.
Kekuasaan Islam
Setelah penaklukan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 638 M, Palestina menjadi bagian dari Kekhalifahan Islam. Wilayah ini awalnya dikelola oleh Khilafah Umayyah yang berpusat di Damaskus, lalu oleh Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Di masa ini, kota Yerusalem tetap menjadi tempat penting bagi umat Islam, khususnya karena peristiwa Isra' Mi'raj dalam tradisi Islam, yang menyebutkan perjalanan Nabi Muhammad ke Masjid Al-Aqsa.
Selama berabad-abad kekuasaan Islam, wilayah Palestina relatif stabil. Masyarakatnya multietnis dan multireligius, dihuni oleh umat Muslim, Yahudi, dan Kristen. Pemerintahan Islam menerapkan sistem jizyah, yaitu pajak bagi non-Muslim sebagai imbalan atas perlindungan dan hak menjalankan agama.
Namun, stabilitas ini sempat terganggu oleh Perang Salib pada abad ke-11 dan ke-12. Pada tahun 1099, pasukan Kristen Eropa merebut Yerusalem dan mendirikan Kerajaan Latin Yerusalem. Penaklukan ini menimbulkan pembantaian terhadap penduduk Muslim dan Yahudi. Namun, pada tahun 1187, jenderal Muslim Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil merebut kembali Yerusalem dan memperlakukan warganya dengan lebih toleran. Setelahnya, wilayah ini kembali ke tangan Muslim hingga masa Utsmaniyah.
Kekuasaan Utsmaniyah
Pada tahun 1517, wilayah Palestina ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmaniyah, yang berpusat di Istanbul. Palestina menjadi bagian dari Provinsi Suriah, lalu di reorganisasi menjadi distrik-distrik administratif. Di bawah kekuasaan Utsmaniyah selama lebih dari 400 tahun, wilayah ini mengalami masa stabilitas relatif, meski tanpa pembangunan besar.
Yerusalem tetap menjadi kota penting religius, dan ziarah dari ketiga agama tetap berlangsung. Komunitas Yahudi, Kristen, dan Muslim hidup berdampingan dalam sistem millet, yaitu sistem otonomi keagamaan yang mengatur masing-masing komunitas.
Namun, memasuki abad ke-19, Kekaisaran Utsmaniyah mulai melemah secara militer dan administratif. Palestina, seperti banyak wilayah lain, mulai mengalami campur tangan Eropa, terutama dari Inggris, Prancis, dan Rusia. Di saat yang sama, muncul juga perubahan besar dari sisi ideologi dan demografi yang kelak memicu konflik besar.
Pada akhir abad ke-19, dua gerakan besar muncul secara paralel:
1. Zionisme, yakni gerakan nasional Yahudi yang ingin mendirikan "tanah air bagi bangsa Yahudi" di Palestina, sebagai tanggapan atas meningkatnya antisemitisme di Eropa.
2. Nasionalisme Arab, yang berkembang di wilayah Arab Utsmaniyah, termasuk Palestina, yang menuntut kemerdekaan dan penolakan terhadap dominasi asing.
Pada saat yang sama, komunitas Yahudi yang tinggal di Palestina mulai bertambah melalui imigrasi dari Eropa, terutama dari Rusia dan Eropa Timur, dikenal sebagai aliyah. Tanah dibeli secara legal dari tuan tanah Arab (termasuk yang tinggal di luar Palestina), dan permukiman Yahudi modern mulai berdiri. Namun, perubahan ini menimbulkan kecemasan di kalangan Arab Palestina, yang merasa tanah mereka diambil dan struktur sosial berubah cepat.
Ketegangan ini meningkat setelah Perang Dunia I, ketika Kekaisaran Utsmaniyah runtuh, dan Inggris mengambil alih Palestina. Pada tahun 1917, pemerintah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang menyatakan dukungan terhadap pendirian "tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina", dengan catatan bahwa hak-hak "komunitas non-Yahudi" di wilayah itu tidak akan terganggu.
Setelah perang, wilayah Palestina secara resmi menjadi Mandat Inggris berdasarkan keputusan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922. Inggris harus mengelola wilayah ini sambil menyeimbangkan dua janji yaitu:
mendukung aspirasi Zionis dan melindungi hak penduduk Arab setempat.
Namun, seiring dengan meningkatnya imigrasi Yahudi ke Palestina, terutama setelah gelombang pengungsi akibat antisemitisme dan Holocaust di Eropa, ketegangan dengan penduduk Arab lokal meningkat tajam. Bentrokan berdarah mulai terjadi sejak awal 1920-an hingga 1930-an, seperti kerusuhan Hebron (1929) dan pemberontakan Arab (1936–1939). Inggris semakin kesulitan mengelola konflik ini, dan pada akhirnya menyerahkan isu Palestina ke PBB pada tahun 1947.
PBB kemudian mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara: satu negara Yahudi, satu negara Arab, dan Yerusalem menjadi wilayah internasional. Pihak Yahudi menerima, tetapi mayoritas pihak Arab menolaknya, karena menganggapnya tidak adil, Terutama karena jumlah penduduk Arab jauh lebih besar saat itu.
Periode ini mencerminkan transformasi besar-besaran wilayah Palestina, dari tanah yang dikelola kerajaan Islam selama berabad-abad menjadi arena benturan antara dua gerakan nasional modern: Zionisme dan nasionalisme Arab.
Kedua pihak melihat tanah ini sebagai rumah leluhur dan tempat suci mereka, dan dengan jatuhnya kekuasaan Utsmaniyah serta masuknya kekuatan kolonial Eropa, konflik tersebut berkembang dari ketegangan sosial menjadi konflik berskala geopolitik.
Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum mandat Inggris resmi berakhir, para pemimpin Yahudi di Palestina secara sepihak mendeklarasikan berdirinya Negara Israel. Deklarasi ini didasarkan pada rencana pembagian PBB tahun 1947, yang telah diterima oleh pihak Yahudi, tetapi ditolak oleh sebagian besar dunia Arab dan warga Arab Palestina, yang menganggapnya tidak adil karena mereka mayoritas penduduk tetapi hanya diberi separuh wilayah.
Sehari setelah deklarasi, lima negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak) mengirim pasukan untuk menyerang wilayah yang baru diproklamasikan tersebut, dalam apa yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel 1948. Hasilnya, Israel mampu mempertahankan wilayahnya dan bahkan memperluasnya dari rencana awal PBB. Wilayah yang seharusnya menjadi negara Arab Palestina (termasuk wilayah pesisir tengah dan sebagian besar Galilea) jatuh ke tangan Israel.
Sementara itu:
Yordania menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur
Mesir menguasai Jalur Gaza
Perang ini berdampak luar biasa terhadap warga Arab Palestina. Sekitar 700.000 orang Palestina mengungsi atau diusir dari rumah mereka, dalam peristiwa yang oleh orang Palestina disebut "Nakba" (Bencana). Sebagian besar tidak pernah diizinkan kembali. Mereka dan keturunan mereka menjadi pengungsi di Yordania, Lebanon, Suriah, Gaza, dan Tepi Barat.
Dalam dekade-dekade berikutnya, hubungan Israel dan negara-negara Arab tetap sangat tegang. Beberapa perang besar terjadi:
1. Perang Suez (1956)
Israel, bersama Inggris dan Prancis, menyerang Mesir setelah Presiden Gamal Abdel Nasser menasionalisasi Terusan Suez. Meskipun secara militer sukses, tekanan internasional (terutama dari AS dan Uni Soviet) memaksa mereka mundur.
2. Perang Enam Hari (1967)
Israel melakukan serangan mendadak terhadap Mesir, Suriah, dan Yordania. Dalam waktu singkat, Israel merebut:
Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania
Gaza dan Sinai dari Mesir
Dataran Tinggi Golan dari Suriah
Peristiwa ini menyebabkan ratusan ribu pengungsi Palestina baru, dan memperluas wilayah Israel secara drastis. Sejak saat itu, Israel mulai membangun pemukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang terus menjadi isu utama dalam konflik modern.
3. Perang Yom Kippur (1973)
Mesir dan Suriah melancarkan serangan dadakan terhadap Israel untuk merebut kembali wilayah yang hilang. Meski Israel akhirnya menang secara militer, perang ini mengguncang rasa aman Israel dan memicu diplomasi internasional.
Proses Perdamaian dan Pengakuan
1. Perjanjian Camp David (1978)
Presiden Mesir Anwar Sadat dan PM Israel Menachem Begin, dimediasi oleh AS, menandatangani perdamaian. Mesir menjadi negara Arab pertama yang mengakui Israel, dan sebagai gantinya, Israel mengembalikan Semenanjung Sinai.
2. Deklarasi Oslo (1993)
Kesepakatan bersejarah antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dipimpin oleh Yasser Arafat. Israel mengakui PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina, dan PLO mengakui hak Israel untuk eksis. Didirikanlah Otoritas Nasional Palestina (PNA) untuk mengelola sebagian wilayah Tepi Barat dan Gaza.
Namun, harapan ini cepat memudar akibat:
Ekstremisme dari kedua belah pihak
Pembunuhan PM Israel Yitzhak Rabin (1995)
Ekspansi pemukiman Israel
Serangan teror dan ketidakpercayaan mendalam
Intifada dan Kekerasan yang Terus Berulang
Intifada Pertama (1987–1993)
Pemberontakan massal warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, melawan pendudukan Israel. Awalnya berupa demonstrasi dan pemogokan, lalu berkembang menjadi kekerasan.
Intifada Kedua (2000–2005)
Pecah setelah kunjungan kontroversial Ariel Sharon ke kompleks Al-Aqsa. Periode ini ditandai oleh bom bunuh diri, operasi militer besar Israel, dan kehancuran luas. Dampaknya sangat menghancurkan secara sosial dan ekonomi bagi kedua belah pihak.
Hingga kini, konflik Palestina-Israel belum menemukan penyelesaian damai permanen. Beberapa fakta utama masa kini:
Israel tetap negara berdaulat dan maju, diakui oleh sebagian besar dunia, namun menghadapi tantangan keamanan dari kelompok bersenjata dan isolasi politik di beberapa kawasan.
Palestina telah mendapatkan pengakuan dari lebih dari 130 negara, tetapi belum memiliki kedaulatan penuh. Wilayah Tepi Barat terbagi antara area di bawah kendali Palestina dan kendali militer Israel.
Gaza dikuasai oleh kelompok Hamas, yang tidak mengakui Israel dan kerap terlibat konflik militer. Israel dan Mesir melakukan blokade atas wilayah itu.
Yerusalem Timur diklaim oleh Palestina sebagai ibu kota masa depan mereka, namun telah dicaplok secara sepihak oleh Israel dan dijadikan ibu kotanya.
Pemukiman Israel di wilayah Tepi Barat terus berkembang, dan dianggap ilegal oleh banyak pihak internasional.
Solusi dua negara, yang dulu menjadi harapan utama perdamaian, kini semakin sulit diwujudkan karena kondisi lapangan yang kompleks.
Tanah Palestina/Israel adalah tempat sakral dan bersejarah, tempat bertemunya iman, identitas, dan sejarah panjang umat manusia. Namun, justru karena maknanya yang dalam bagi banyak pihak, tanah ini juga menjadi sumber pertikaian, pengusiran, dan penderitaan.
Konflik ini bukan hanya persoalan dua pihak, tapi juga melibatkan sejarah kolonialisme, identitas nasional, hak asasi manusia, dan politik global. Di balik narasi besar, ada jutaan manusia biasa, baik Palestina maupun Israel, yang mendambakan kehidupan yang aman, merdeka, dan bermartabat.
Jadi siapa yang paling berhak atas tanah yang dijanjikan?
Pertanyaan “siapa yang paling berhak atas tanah Palestina” adalah inti dari konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Jawaban terhadapnya sangat tergantung pada sudut pandang sejarah, hukum internasional, agama, dan identitas nasional, dan karena itu tidak memiliki jawaban tunggal yang disepakati oleh semua pihak.
Namun, saya akan menjelaskan tiga perspektif utama secara netral dan seimbang, agar Anda dapat melihat bagaimana masing-masing pihak mendasarkan klaim mereka:
1. Pandangan Yahudi/Israel
Dasar Klaim:
Sejarah dan agama: Bangsa Yahudi memandang tanah ini sebagai tanah leluhur mereka sejak zaman Abraham, Daud, dan Salomo. Yerusalem adalah kota suci mereka, dan dua Bait Suci berdiri di sana.
Pengusiran dan diaspora: Meski diusir oleh Romawi, komunitas Yahudi terus mempertahankan ikatan spiritual dan historis dengan tanah tersebut selama ribuan tahun.
Gerakan Zionisme modern: Setelah gelombang antisemitisme di Eropa (termasuk Holocaust), para Zionis memandang kembalinya ke Palestina sebagai hak nasional untuk membangun kembali tanah air yang hilang.
Legalitas internasional: Deklarasi Balfour (1917) dan Rencana PBB (1947) memberikan dasar bagi pembentukan negara Yahudi di Palestina.
Kesimpulan mereka: Tanah ini adalah tanah leluhur mereka secara historis dan spiritual, dan keberadaan Israel adalah bentuk pemulihan hak yang sah setelah ribuan tahun penindasan.
2. Pandangan Palestina/Arab
Dasar Klaim:
Keberadaan historis: Mayoritas penduduk di wilayah itu sebelum berdirinya Israel adalah Arab Palestina, baik Muslim maupun Kristen yang telah tinggal di sana selama berabad-abad sejak masa Islam dan Utsmaniyah.
Kehilangan hak tanah: Rencana pembagian PBB dan pembentukan Israel menyebabkan pengusiran ratusan ribu warga Palestina (Nakba), banyak di antaranya tidak pernah diizinkan kembali.
Hukum internasional: Resolusi PBB (seperti Resolusi 194) menyebutkan hak pengungsi Palestina untuk kembali, dan banyak negara menganggap pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Yerusalem Timur (pasca 1967) sebagai ilegal.
Identitas nasional: Palestina melihat dirinya sebagai bangsa yang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self-determination) di tanah leluhurnya.
> Kesimpulan mereka: Mereka adalah penduduk asli yang tinggal secara turun-temurun di wilayah itu, dan kehilangan tanah mereka karena intervensi kolonial dan kekuatan luar.
Pandangan Netral/Hukum Internasional
Prinsip yang sering digunakan:
Hak menentukan nasib sendiri berlaku bagi kedua bangsa, baik Yahudi maupun Palestina.
PBB (1947) memang memberikan legalitas kepada dua negara (Yahudi dan Arab), namun hanya satu (Israel) yang terwujud.
Banyak resolusi PBB menegaskan:
Yerusalem Timur dan Tepi Barat adalah wilayah pendudukan
Permukiman Israel di Tepi Barat dianggap ilegal
Pengungsi Palestina memiliki hak untuk kembali atau mendapatkan kompensasi
> Kesimpulan umum: Keduanya memiliki klaim sah secara historis dan legal. Solusi terbaik adalah kompromi yang mengakui hak dan keberadaan masing-masing, sering disebut sebagai solusi dua negara.
Jadi, siapa yang “paling berhak”?
Tidak ada jawaban absolut yang diterima semua pihak. Yang ada adalah:
Dua bangsa, masing-masing dengan sejarah yang mendalam, luka yang dalam, dan klaim yang sah dari perspektif mereka sendiri.
Tanah ini tidak hanya soal politik, tapi juga identitas, iman, dan penderitaan.
Solusi damai hanya mungkin jika kedua belah pihak saling mengakui hak eksistensi satu sama lain di tanah yang sama, meskipun itu sangat sulit secara politik dan emosional.
Belum ada Komentar untuk "Tanah yang Dijanjikan: Sejarah Palestina dan Israel dari Zaman Kuno hingga Kini"
Posting Komentar