Sejarah Konflik Israel dan Koalisi Arab: Dari Awal Mula hingga Dinamika Kontemporer
Konflik antara Israel dan negara-negara Arab adalah salah satu konflik geopolitik paling kompleks dan panjang dalam sejarah modern. Akar permasalahannya dapat ditelusuri jauh ke masa akhir Kekaisaran Ottoman dan awal abad ke-20, ketika wilayah Palestina yang saat itu menjadi bagian dari kekuasaan Turki Utsmani, mulai menjadi perhatian bangsa-bangsa Barat, terutama Inggris dan Prancis, setelah Perang Dunia I.
Pada masa itu, gerakan Zionisme yang berkembang di Eropa menyerukan agar bangsa Yahudi memiliki tanah air sendiri di Palestina, sebagai respons terhadap diskriminasi dan penganiayaan yang mereka alami. Dalam waktu bersamaan, bangsa Arab Palestina juga mengembangkan kesadaran nasional untuk merdeka di tanah yang mereka diami turun-temurun. Ketegangan meningkat ketika Inggris, melalui Deklarasi Balfour (1917), menyatakan dukungan terhadap pendirian "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di Palestina, sebuah janji yang bertentangan dengan aspirasi Arab.
Ketegangan semakin meningkat setelah Perang Dunia II. Tragedi Holocaust membuat banyak bangsa mendukung ide pendirian negara Israel, dan gelombang imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat drastis. Pada tahun 1947, PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara: satu untuk Yahudi, dan satu untuk Arab. Yahudi menerima rencana ini, namun dunia Arab menolaknya karena dianggap tidak adil dan mengabaikan hak penduduk Arab Palestina yang mayoritas.
Ketika Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948, pecahlah perang pertama antara Israel dan koalisi Arab (termasuk Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak). Perang ini dikenal sebagai Perang Arab-Israel 1948, atau dalam narasi Arab disebut sebagai "Nakba" (malapetaka) karena sekitar 700.000 warga Palestina mengungsi dari tanah mereka. Israel berhasil mempertahankan wilayahnya dan bahkan memperluasnya lebih dari yang direncanakan dalam pembagian PBB.
Perang tidak berhenti di situ. Pada 1956, terjadi Krisis Suez, di mana Israel bekerja sama dengan Inggris dan Prancis menyerang Mesir setelah Presiden Gamal Abdel Nasser menasionalisasi Terusan Suez. Meskipun Israel sempat meraih kemenangan militer, tekanan internasional membuat mereka mundur.
Konflik kembali memanas pada Perang Enam Hari tahun 1967. Dalam waktu singkat, Israel menyerang dan berhasil mengalahkan Mesir, Suriah, dan Yordania, serta merebut wilayah strategis seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai. Kemenangan ini mengubah peta politik kawasan dan menjadi titik awal pendudukan wilayah Palestina oleh Israel, yang hingga kini menjadi isu sentral konflik.
Tiga tahun kemudian, pada 1973, Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak pada hari raya Yom Kippur, berusaha merebut kembali wilayah yang hilang. Perang ini, meskipun akhirnya dimenangkan oleh Israel, menunjukkan bahwa kekuatan militer Arab tidak bisa diremehkan. Perang Yom Kippur juga menjadi katalis bagi perundingan damai pertama antara Israel dan negara Arab.
Upaya damai mulai membuahkan hasil saat Mesir dan Israel menandatangani Perjanjian Camp David (1978), yang disusul oleh Perjanjian Damai Mesir-Israel (1979). Ini menjadi pertama kalinya sebuah negara Arab mengakui keberadaan Israel, namun sekaligus membuat Mesir dikucilkan dari Liga Arab selama beberapa tahun.
Sementara itu, isu Palestina tetap menjadi pusat konflik. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin oleh Yasser Arafat memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina, baik secara diplomatis maupun bersenjata. Sejak Intifada pertama (1987–1993) hingga Intifada kedua (2000–2005), ketegangan antara rakyat Palestina dan militer Israel terus berlangsung, disertai dengan aksi kekerasan, blokade, dan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan.
Negara-negara Arab lain mulai bersikap lebih pragmatis. Yordania menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1994. Namun, negara-negara seperti Suriah dan Lebanon masih belum berdamai secara formal. Meski begitu, konflik bersenjata besar antara Israel dan negara-negara Arab secara langsung mulai berkurang sejak akhir abad ke-20.
Memasuki abad ke-21, konflik bergeser ke dinamika baru: konflik internal Israel-Palestina, serta ketegangan dengan kelompok-kelompok seperti Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon. Meski beberapa negara Arab mulai membuka hubungan dengan Israel, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan melalui Perjanjian Abraham (2020) konflik di wilayah Palestina tetap menjadi isu global yang belum terselesaikan.
Hingga kini, ketegangan di Tepi Barat dan Jalur Gaza masih sering memicu kekerasan. Blokade, serangan roket, dan operasi militer menjadi pemandangan rutin dalam konflik yang belum menemukan ujung. Sementara itu, masyarakat internasional terus mendorong solusi damai yang adil, seperti solusi dua negara, namun implementasinya selalu menghadapi jalan buntu.
Sejarah perang antara Israel dan koalisi Arab bukan hanya soal perebutan tanah, tapi juga identitas, sejarah, dan hak untuk hidup berdampingan. Dari perang berskala besar antarnegara hingga konflik lokal yang menyakitkan, persoalan ini tetap menjadi tantangan global. Solusi sejati tidak hanya membutuhkan negosiasi politik, tetapi juga empati dan pengakuan terhadap penderitaan kedua belah pihak.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Konflik Israel dan Koalisi Arab: Dari Awal Mula hingga Dinamika Kontemporer"
Posting Komentar