Tempat wisata bersejarah di kota malang: Dari candi, museum hingga bangunan ikonik


Kota Malang, yang terletak di Jawa Timur, tak hanya dikenal dengan keindahan alamnya, tetapi juga kekayaan sejarah dan budayanya. Sebagai salah satu kota yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu, Malang menyimpan berbagai tempat wisata bersejarah yang memikat. Dari candi-candi yang sarat nilai sejarah hingga museum yang menyimpan koleksi berharga, serta bangunan ikonik yang mencerminkan arsitektur zaman kolonial, setiap sudut kota ini menawarkan kisah yang layak untuk dijelajahi. Artikel ini akan mengajak Anda untuk mengenal lebih dalam tempat-tempat wisata bersejarah di Kota Malang, menyusuri jejak-jejak peradaban masa lalu yang masih lestari hingga saat ini.


Candi Singosari 

Candi Singosari adalah salah satu peninggalan bersejarah dari Kerajaan Singasari yang didirikan pada abad ke-13. Candi ini dikenal dengan arsitektur khas Hindu-Buddha dan dipercaya sebagai tempat pemujaan serta peristirahatan terakhir Raja Kertanegara, raja terakhir Singasari.

Candi Singosari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Koordinatnya sekitar 7°52'59.6"S 112°41'44.6"E, berada di dataran tinggi yang dikelilingi pegunungan, termasuk Gunung Arjuna di sebelah barat laut.

Sejarah Pembangunan Candi Singosari

Candi Singosari dibangun pada akhir abad ke-13, pada masa pemerintahan Raja Kertanegara (1268–1292 M), raja terakhir Kerajaan Singasari. Candi ini diyakini sebagai candi pendharmaan atau tempat pemujaan bagi raja setelah wafat, yang dalam tradisi Hindu-Buddha disebut sebagai "dewa raja" atau Åšiva-Buddha.

Raja Kertanegara dikenal sebagai penguasa yang bercita-cita menyatukan Nusantara melalui Ekspedisi Pamalayu. Namun, pada tahun 1292, ia dibunuh oleh Jayakatwang dari Kerajaan Kediri dalam sebuah kudeta. Tak lama setelah itu, pasukan Mongol yang sebelumnya diundang oleh Kertanegara tiba di Jawa dan membantu putra menantu Kertanegara, Raden Wijaya, dalam mengalahkan Jayakatwang. Peristiwa ini menjadi awal berdirinya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293.

Setelah kematian Kertanegara, para pengikutnya mendirikan Candi Singosari sebagai bentuk penghormatan. Berdasarkan relief dan arca yang ditemukan, candi ini menggabungkan unsur Hindu dan Buddha. Kertanegara diyakini dipuja sebagai perwujudan Siwa-Buddha, yang menjelaskan mengapa ada pengaruh Hindu dan Buddha yang kuat dalam arsitektur dan reliefnya.

Saat ini, meskipun bangunan candi tidak lagi utuh, Candi Singosari tetap menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Singasari sebelum runtuhnya dan digantikan oleh Majapahit.


Bukti Arkeologis dan Prasasti

Sejumlah bukti arkeologis dan prasasti yang ditemukan di sekitar Candi Singosari memberikan informasi lebih lanjut mengenai keberadaan dan fungsi candi ini. Salah satu prasasti penting yang berhubungan dengan pembangunan candi ini adalah Prasasti Singosari yang ditemukan di sekitar kawasan candi. Prasasti ini memuat informasi mengenai Raja Kertanegara dan penegasan kekuasaannya atas wilayah Singasari pada masa itu.

Selain itu, relief-relief yang ditemukan pada candi menggambarkan kisah-kisah mitologi Hindu-Buddha, yang juga mengindikasikan bahwa candi ini berfungsi sebagai tempat pemujaan dewa, khususnya Siwa. Beberapa arca besar yang ditemukan di sekitar candi, seperti Arca Dwarapala dan Arca Prajnaparamita, menguatkan dugaan bahwa candi ini digunakan sebagai tempat pemujaan bagi raja dan dewa, serta mungkin menjadi tempat peristirahatan terakhir raja.

Bukti arkeologis lainnya adalah struktur candi yang menggambarkan perpaduan antara arsitektur Hindu dan Buddha, yang merupakan ciri khas pada masa transisi antara dua pengaruh besar tersebut. Meski banyak bagian candi yang telah rusak, temuan-temuan ini tetap menunjukkan betapa pentingnya situs ini dalam sejarah Kerajaan Singasari.


Penemuan Kembali Candi Singosari

Candi Singosari, yang terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, sempat hilang dalam sejarah selama berabad-abad dan hampir terlupakan. Candi ini baru ditemukan kembali pada abad ke-19 oleh penjelajah Belanda, yang saat itu melakukan penelitian di wilayah Jawa Timur. Pada saat itu, candi tersebut sudah berada dalam kondisi yang cukup rusak, dengan banyak bagian bangunan yang runtuh.

Penemuan Candi Singosari dimulai saat seorang arsitek Belanda, Sir Thomas Stamford Raffles, mencatat tentang keberadaan struktur batu kuno di daerah Singosari dalam catatannya yang dikeluarkan pada awal abad ke-19. Namun, pada saat itu, struktur yang ada di kawasan tersebut tidak sepenuhnya teridentifikasi sebagai Candi Singosari.

Pada tahun 1815, candi ini mulai mendapatkan perhatian lebih oleh Gouverneur-General Raffles melalui laporan yang dia terima. Seiring waktu, penemuan ini memicu penelitian lebih lanjut, dan pada tahun 1910, penggalian dan pemugaran pertama dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selama proses ini, banyak arca, relief, dan batu-batu besar yang ditemukan di sekitar situs, yang semakin memperkuat identitas candi sebagai situs peninggalan Kerajaan Singasari.

Salah satu penemuan paling signifikan adalah Arca Dwarapala yang ditemukan di pintu gerbang candi. Arca ini menggambarkan penjaga pintu yang melambangkan kekuatan dan perlindungan, ciri khas dari arsitektur Hindu pada masa itu. Selain itu, relief-relief yang menggambarkan kisah-kisah mitologi Hindu dan Buddha juga ditemukan di beberapa bagian candi, menambah bukti penting bahwa Candi Singosari adalah tempat pemujaan sekaligus tempat pendharmaan raja.

Meskipun candi ini telah dipugar beberapa kali, terutama pada era kolonial dan setelah kemerdekaan Indonesia, banyak bagiannya yang tetap menjadi puing-puing atau hilang karena erosi waktu dan aktivitas manusia.

Penemuan kembali Candi Singosari juga memperlihatkan pentingnya upaya konservasi dan perlindungan situs-situs bersejarah. Kini, Candi Singosari menjadi salah satu situs budaya yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia, dan terus menarik minat para arkeolog, wisatawan, serta pecinta sejarah.


Pemugaran Candi Singosari

Pemugaran Candi Singosari dimulai pada awal abad ke-20, setelah candi ini ditemukan kembali pada tahun 1815 dan diperkenalkan ke dunia oleh peneliti Belanda. Upaya pemugaran pertama dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1910. Pada waktu itu, tujuan utama pemugaran adalah untuk mengembalikan struktur dasar candi yang hampir hancur akibat faktor alam dan aktivitas manusia yang merusaknya.

Proses pemugaran pertama kali berfokus pada pengumpulan batu-batu yang tersebar di sekitar lokasi dan menyusun kembali bagian-bagian yang masih bisa dipertahankan. Banyak bagian dari candi yang sudah hilang, sehingga pemugaran dilakukan dengan mengganti beberapa bagian yang hilang menggunakan batuan baru yang serupa. Beberapa arca dan relief juga ditemukan dalam keadaan rusak atau terpisah-pisah, namun sebagian besar dapat dipulihkan dan dipasang kembali di posisi semula.

Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia melanjutkan upaya pemugaran yang lebih menyeluruh. Salah satu upaya besar dilakukan pada tahun 1960-an hingga 1970-an, ketika tim arkeolog Indonesia, bekerja sama dengan berbagai ahli konservasi, memperbaiki struktur candi yang mengalami kerusakan lebih lanjut karena erosi dan gempa bumi yang terjadi di daerah Malang.

Pemugaran ini juga melibatkan pemulihan bagian-bagian yang rusak, serta penataan kawasan sekitar candi agar tetap mempertahankan nuansa historis. Pada tahun 2000-an, pemugaran candi terus dilakukan dengan bantuan teknologi dan teknik modern. Sebagian besar pekerjaan fokus pada penguatan struktur candi untuk memastikan bangunan tetap kokoh dan terjaga dari kerusakan lebih lanjut.

Selain pemugaran fisik candi, pembangunan fasilitas pendukung juga dilakukan, termasuk penyediaan papan informasi, pagar pembatas, dan area pejalan kaki untuk memudahkan akses pengunjung, baik wisatawan lokal maupun mancanegara.

Meski candi ini sudah beberapa kali dipugar, beberapa bagian dari Candi Singosari masih tetap dipelihara dalam kondisi alami untuk menjaga keaslian dan nilai sejarahnya. Pemugaran terus dilakukan secara berkala untuk menjaga kelestarian situs sejarah ini sebagai warisan budaya dunia.

Dengan pemugaran yang dilakukan secara hati-hati, Candi Singosari tetap menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Singasari dan terus menarik perhatian para peneliti, wisatawan, serta pecinta sejarah dari seluruh dunia.

Akses Menuju Candi Singosari untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Candi Singosari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 10 km di utara Kota Malang. Lokasinya cukup strategis dan mudah dijangkau dengan berbagai moda transportasi. Bagi wisatawan yang berangkat dari pusat Kota Malang, perjalanan ke Candi Singosari dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit dengan kendaraan pribadi melalui Jalan Raya Malang-Surabaya. Alternatif lain adalah menggunakan angkutan kota (angkot) jurusan AL atau ADL dari Terminal Arjosari, yang bisa membawa wisatawan ke area terdekat sebelum melanjutkan perjalanan dengan ojek. Selain itu, layanan taksi konvensional dan ojek online juga tersedia untuk perjalanan yang lebih praktis dan nyaman.

Bagi wisatawan yang tiba di Bandara Abdul Rachman Saleh, candi ini hanya berjarak sekitar 7 km dengan waktu tempuh 15-20 menit menggunakan taksi bandara atau transportasi daring. Jika menggunakan transportasi umum, wisatawan harus menuju Terminal Arjosari terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan dengan angkutan kota atau taksi. Sementara itu, wisatawan dari Surabaya memiliki beberapa pilihan transportasi, seperti kereta api jurusan Malang yang berhenti di Stasiun Singosari, atau bus antar kota yang berhenti di Terminal Arjosari. Jika menggunakan kendaraan pribadi, perjalanan dari Surabaya ke Candi Singosari dapat ditempuh dalam waktu sekitar 2-2,5 jam melalui Tol Surabaya-Malang, keluar di gerbang tol Singosari, lalu melanjutkan perjalanan sekitar 10 menit ke lokasi candi.

Wisatawan mancanegara yang ingin mengunjungi Candi Singosari biasanya tiba di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang. Pilihan transportasi dari Surabaya ke Malang mencakup penerbangan domestik ke Bandara Abdul Rachman Saleh, kereta api dari Stasiun Gubeng atau Pasar Turi, serta bus atau layanan travel. Setibanya di Malang, wisatawan dapat menggunakan berbagai moda transportasi lokal untuk mencapai Candi Singosari. Alternatif lain adalah perjalanan langsung dari Surabaya ke Candi Singosari menggunakan kendaraan pribadi atau layanan transportasi daring, yang menawarkan fleksibilitas lebih besar.

Dengan akses yang semakin mudah dan infrastruktur yang terus berkembang, perjalanan menuju Candi Singosari menjadi lebih nyaman bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Lokasinya yang berada di jalur utama antara Malang dan Surabaya menjadikannya destinasi wisata sejarah yang mudah dijangkau. Pemerintah setempat juga terus berupaya meningkatkan sarana dan prasarana di sekitar candi, termasuk penyediaan papan informasi, area parkir, serta fasilitas pendukung lainnya untuk memberikan pengalaman yang lebih baik bagi pengunjung.




Candi Jago

Candi Jago adalah salah satu peninggalan penting dari Kerajaan Singasari, yang dibangun pada abad ke-13 sebagai tempat pendharmaan bagi Raja Wisnuwardhana. Candi ini memiliki keunikan dalam arsitektur, dengan bentuk bertingkat yang menyerupai punden berundak, mencerminkan perpaduan antara kepercayaan Hindu dan Buddha. Relief-relief yang menghiasi dinding candi menggambarkan berbagai kisah epik seperti Kakawin Kunjarakarna dan Kakawin Parthayajna, yang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan ajaran moral pada masa itu.

Letak Geografis

Candi Jago terletak di Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 22 km di sebelah timur Kota Malang. Lokasinya berada di daerah perbukitan dengan suasana yang tenang, menjadikannya tempat yang ideal untuk wisata sejarah sekaligus wisata spiritual. Posisi candi yang dekat dengan jalur menuju Gunung Bromo juga menjadikannya destinasi menarik bagi wisatawan yang ingin mengeksplorasi keindahan budaya dan alam dalam satu perjalanan.

Sejarah Pembangunan

Candi Jago dibangun pada abad ke-13 oleh Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari, untuk mengenang ayahnya, Sri Wisnuwardhana, yang wafat pada tahun 1268 M. Berdasarkan Kitab Negarakertagama, candi ini disebut sebagai tempat suci bagi Wisnuwardhana yang dihormati sebagai titisan Buddha Amoghasiddhi. Candi ini mencerminkan sinkretisme Hindu-Buddha, yang berkembang pesat di Nusantara pada masa itu. Struktur candi yang bertingkat kemungkinan besar melambangkan tingkatan spiritual dalam ajaran Buddha Mahayana.

Penemuan Kembali

Setelah runtuhnya Kerajaan Singasari, Candi Jago perlahan mulai terlupakan dan tertutup oleh vegetasi. Baru pada abad ke-19, candi ini ditemukan kembali oleh peneliti dari pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian mendokumentasikan kondisi situs tersebut. Salah satu catatan tertua tentang Candi Jago berasal dari Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, The History of Java (1817), yang menyebutkan adanya reruntuhan candi di wilayah Tumpang.

Pemugaran

Pemugaran Candi Jago dimulai pada awal abad ke-20 oleh pemerintah kolonial Belanda, namun karena banyak bagian atas candi yang telah runtuh, pemugaran hanya bisa dilakukan untuk menyelamatkan relief dan struktur dasar. Sejak kemerdekaan Indonesia, upaya konservasi terus dilakukan oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, termasuk perawatan berkala untuk mencegah pelapukan batu dan erosi. Meskipun bagian puncaknya sudah tidak ada, bagian kaki dan reliefnya tetap terjaga dan menjadi daya tarik utama bagi pengunjung.

Akses Menuju Lokasi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Candi Jago dapat diakses dengan mudah dari Kota Malang, yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi umum. Wisatawan lokal dapat menggunakan angkutan kota (angkot) Tumpang dari Terminal Arjosari, atau memilih ojek dan taksi online. Bagi wisatawan yang datang dari Surabaya, perjalanan bisa ditempuh dengan kereta api atau bus ke Malang, lalu melanjutkan perjalanan ke Tumpang. Wisatawan mancanegara yang tiba di Bandara Abdul Rachman Saleh bisa langsung menuju candi dengan taksi dalam waktu 30 menit. Infrastruktur jalan menuju candi sudah cukup baik, dan lokasinya yang dekat dengan jalur menuju Gunung Bromo menjadikannya destinasi ideal sebelum atau sesudah mengunjungi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.


Candi Kidal

Candi Kidal adalah salah satu peninggalan bersejarah dari Kerajaan Singasari yang dibangun sebagai tempat pendharmaan bagi Anusapati, raja kedua Singasari. Candi ini dikenal sebagai candi tertua yang masih berdiri tegak dari masa Singasari, dengan arsitektur khas Hindu-Siwaisme. Keunikan Candi Kidal terletak pada relief Garuda di bagian kaki candi, yang menggambarkan legenda Garudeya, kisah Garuda yang membebaskan ibunya dari perbudakan. Kisah ini melambangkan pembebasan dari penderitaan dan dianggap sebagai pesan spiritual dari raja yang dipersembahkan candi ini.

Letak Geografis

Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 20 km di sebelah timur Kota Malang. Lokasinya tidak jauh dari Candi Jago dan berada di jalur menuju Gunung Bromo, menjadikannya destinasi wisata sejarah yang menarik bagi wisatawan yang ingin mengeksplorasi peninggalan Singasari sebelum atau setelah mengunjungi kawasan pegunungan tersebut.

Sejarah Pembangunan

Candi Kidal dibangun pada abad ke-13, tepatnya setelah kematian Anusapati pada tahun 1248 M. Anusapati merupakan putra Ken Dedes dari suami pertamanya, Tunggul Ametung, yang kemudian menjadi raja setelah mengalahkan Ken Arok. Pendirian candi ini adalah bentuk penghormatan dan pendharmaan Anusapati yang dianggap telah mencapai moksha. Dibandingkan candi-candi lain di masa Singasari, Candi Kidal memiliki struktur yang lebih ramping dan menjulang, mencerminkan pengaruh arsitektur Hindu yang lebih kuat.

Penemuan Kembali

Seperti banyak candi lainnya, Candi Kidal sempat mengalami periode terlupakan setelah runtuhnya Kerajaan Singasari dan peralihan kekuasaan ke Majapahit. Baru pada abad ke-19, candi ini ditemukan kembali oleh peneliti dari pemerintah kolonial Belanda. Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817) juga menyebutkan keberadaan reruntuhan candi di daerah Tumpang. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh arkeolog Belanda pada awal abad ke-20 untuk mengidentifikasi relief dan struktur yang masih tersisa.

Pemugaran

Pemugaran Candi Kidal dilakukan secara bertahap, dimulai sejak tahun 1925 oleh pemerintah kolonial Belanda. Proses pemugaran berlanjut setelah Indonesia merdeka di bawah pengawasan Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Salah satu aspek yang paling diperhatikan dalam pemugaran adalah pelestarian relief Garudeya, yang memiliki nilai artistik dan filosofis tinggi. Meski beberapa bagian candi sudah mengalami kerusakan, struktur utamanya masih bertahan dengan baik, menjadikannya salah satu candi Singasari yang paling terawat hingga saat ini.

Akses Menuju Lokasi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Candi Kidal dapat diakses dengan mudah dari Kota Malang dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum. Dari pusat Kota Malang, perjalanan menuju candi memakan waktu sekitar 45 menit. Wisatawan lokal bisa menggunakan angkutan kota (angkot) Tumpang dari Terminal Arjosari, lalu melanjutkan perjalanan dengan ojek menuju lokasi candi. Wisatawan dari luar kota, seperti Surabaya, dapat menggunakan kereta api atau bus ke Malang, lalu meneruskan perjalanan dengan transportasi lokal. Bagi wisatawan mancanegara yang tiba di Bandara Abdul Rachman Saleh, perjalanan ke Candi Kidal bisa ditempuh dalam waktu 30 menit menggunakan taksi atau transportasi daring. Infrastruktur menuju candi sudah cukup baik, dengan jalan beraspal yang menghubungkan lokasi dengan destinasi wisata lainnya, seperti Candi Jago dan kawasan Bromo-Tengger-Semeru, menjadikannya bagian dari rute wisata sejarah dan alam di Malang.


Museum Brawijaya

Museum Brawijaya adalah museum sejarah yang menyimpan berbagai koleksi artefak militer dan dokumen perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan peran Divisi Brawijaya dalam perang kemerdekaan. Diresmikan pada tahun 1968, museum ini menjadi salah satu destinasi wisata edukatif yang menawarkan wawasan mendalam tentang perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Salah satu koleksi paling ikonik di museum ini adalah Gerbong Maut, yang menjadi saksi bisu kekejaman kolonial Belanda terhadap para pejuang Indonesia.

Letak Geografis

Museum Brawijaya terletak di Jalan Ijen No. 25, Kelurahan Gading Kasri, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Lokasinya berada di kawasan Ijen Boulevard, yang dikenal dengan arsitektur kolonialnya serta lingkungan yang asri. Posisi museum yang strategis di pusat kota menjadikannya mudah dijangkau dari berbagai penjuru Kota Malang, baik dengan kendaraan pribadi maupun transportasi umum.

Sejarah Pembangunan

Museum Brawijaya mulai dibangun pada tahun 1967 atas prakarsa Kolonel Pur. Rudy Pirngadie, seorang tokoh militer yang berperan dalam mendokumentasikan sejarah perjuangan Tentara Nasional Indonesia di Jawa Timur. Pembangunan museum ini bertujuan untuk mengenang dan mendokumentasikan perjalanan Divisi Brawijaya, salah satu unit militer yang berperan besar dalam perlawanan terhadap Belanda selama Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Pada 4 Mei 1968, museum ini diresmikan oleh Jenderal TNI Gatot Soebroto, dan sejak saat itu menjadi pusat edukasi sejarah serta penghormatan bagi para pejuang yang gugur dalam perang kemerdekaan.

Saat Ini sebagai Destinasi Wisata Bersejarah

Museum Brawijaya kini menjadi salah satu destinasi wisata edukasi yang sering dikunjungi oleh pelajar, akademisi, serta wisatawan yang tertarik dengan sejarah perjuangan Indonesia. Koleksi museum mencakup berbagai senjata, kendaraan perang, seragam tentara, dan dokumen sejarah dari era Revolusi Kemerdekaan hingga era setelahnya. Salah satu koleksi yang paling terkenal adalah Gerbong Maut, sebuah gerbong kereta yang digunakan oleh Belanda pada tahun 1947 untuk mengangkut pejuang Indonesia dari Bondowoso ke Surabaya dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi, menyebabkan banyak tahanan meninggal di dalamnya karena kehabisan oksigen.

Selain itu, museum ini juga memiliki Tank Sherman, meriam, dan kendaraan militer lain yang digunakan dalam pertempuran di Jawa Timur. Ruangan pameran di dalam museum juga menampilkan berbagai foto dokumentasi, peta strategi perang, dan diorama pertempuran, yang memberikan gambaran lengkap tentang sejarah perjuangan di wilayah Jawa Timur.

Akses Menuju Lokasi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Museum Brawijaya sangat mudah diakses karena lokasinya berada di pusat Kota Malang. Dari Alun-Alun Malang, wisatawan dapat mencapai museum dalam waktu sekitar 10 menit menggunakan kendaraan pribadi, taksi, atau transportasi daring. Jika menggunakan angkutan kota (angkot), wisatawan bisa naik angkot berwarna biru muda (AL, ADL, atau GL) yang melewati kawasan Jalan Ijen.

Bagi wisatawan yang datang dari luar kota, perjalanan ke museum dapat dimulai dari Stasiun Malang Kota Baru, yang hanya berjarak sekitar 3 km dan bisa ditempuh dalam 10-15 menit dengan taksi atau ojek online. Sementara itu, wisatawan yang tiba di Bandara Abdul Rachman Saleh dapat mencapai museum dalam waktu 30 menit menggunakan taksi bandara atau transportasi daring. Dengan akses yang mudah serta fasilitas yang cukup lengkap, Museum Brawijaya menjadi salah satu destinasi wajib bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat sejarah perjuangan Indonesia di Malang.



Museum Malang Tempo Doeloe

Museum Malang Tempo Doeloe adalah museum yang menyajikan perjalanan sejarah Kota Malang dari zaman prasejarah hingga era modern. Museum ini menampilkan berbagai koleksi artefak, diorama, serta dokumentasi sejarah yang menggambarkan perkembangan Malang sebagai salah satu kota penting di Jawa Timur. Dengan konsep interaktif dan edukatif, museum ini memberikan pengalaman unik bagi pengunjung untuk memahami jejak sejarah Malang secara mendalam.

Letak Geografis

Museum Malang Tempo Doeloe berlokasi di Jalan Gajahmada No. 2, Kelurahan Kidul dalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Museum ini terletak di pusat kota, tidak jauh dari Alun-Alun Tugu dan Balai Kota Malang, menjadikannya mudah dijangkau oleh wisatawan yang sedang menjelajahi kawasan bersejarah di Malang.

Sejarah Pembangunan

Museum ini didirikan atas inisiatif Dwi Cahyono, seorang sejarawan dan kolektor benda-benda bersejarah asal Malang. Museum ini resmi dibuka pada 22 Oktober 2012 sebagai bagian dari upaya melestarikan dan mengenalkan sejarah Malang kepada masyarakat luas. Konsepnya dirancang agar pengunjung dapat menikmati perjalanan waktu melalui tampilan artefak dari berbagai periode, mulai dari peninggalan prasejarah, era Kerajaan Kanjuruhan, masa kolonial Belanda, hingga perkembangan Malang di era modern.

Saat Ini sebagai Destinasi Wisata Bersejarah

Sebagai salah satu destinasi wisata sejarah, Museum Malang Tempo Doeloe menawarkan pengalaman yang lebih interaktif dibandingkan museum konvensional. Di dalam museum, terdapat berbagai diorama, replika bangunan bersejarah, serta koleksi artefak kuno yang dikategorikan berdasarkan periode waktu. Pengunjung dapat melihat bagaimana kehidupan masyarakat Malang pada zaman dahulu, termasuk peninggalan dari masa Kerajaan Kanjuruhan, Singasari, dan Majapahit.

Museum ini juga memiliki galeri foto sejarah, peta kuno, serta dokumen kolonial, yang menggambarkan perubahan tata kota Malang dari masa ke masa. Selain itu, museum ini juga sering mengadakan workshop budaya, pameran tematik, dan kegiatan edukatif yang menarik bagi pelajar maupun wisatawan umum.

Akses Menuju Lokasi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Museum ini berada di pusat Kota Malang, sehingga sangat mudah diakses dari berbagai titik penting. Dari Alun-Alun Tugu Malang, museum ini dapat dijangkau dengan berjalan kaki hanya dalam 5 menit. Jika menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi daring, museum ini bisa dicapai dalam waktu 10 menit dari Stasiun Malang Kota Baru.

Bagi wisatawan dari luar kota, tersedia berbagai pilihan transportasi menuju Malang, seperti kereta api, bus, dan pesawat. Dari Bandara Abdul Rachman Saleh, museum ini dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dengan taksi atau transportasi daring. Sementara itu, bagi wisatawan yang menggunakan angkutan kota (angkot), bisa memilih angkot dengan kode ABG, AMG, atau MT yang melewati kawasan pusat kota. Dengan akses yang mudah dan lokasinya yang strategis, Museum Malang Tempo Doeloe menjadi destinasi yang menarik bagi siapa saja yang ingin memahami sejarah Kota Malang secara lebih mendalam.




Kampung Warna-Warni Jodipan: Dari Permukiman Kumuh Menjadi Ikon wisata Malang

Kampung Warna-Warni Jodipan adalah salah satu destinasi wisata unik di Kota Malang yang terkenal dengan deretan rumah-rumah bercat warna-warni cerah. Berada di tepi Sungai Brantas, kampung ini awalnya merupakan kawasan permukiman kumuh yang kemudian disulap menjadi objek wisata berkat inisiatif mahasiswa dan dukungan berbagai pihak. Kini, Jodipan tidak hanya menjadi ikon wisata Kota Malang, tetapi juga inspirasi bagi pengelolaan kampung tematik di Indonesia.

Letak Geografis

Kampung Warna-Warni Jodipan terletak di Kelurahan Jodipan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Lokasinya sangat strategis, berada di tepi Sungai Brantas, tidak jauh dari Stasiun Malang Kota Baru dan pusat kota. Kampung ini bersebelahan dengan Kampung Tridi dan Kampung Biru Arema, yang juga menawarkan konsep wisata serupa.

Sejarah Pembangunan

Transformasi Kampung Jodipan bermula pada tahun 2016, ketika sekelompok mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggagas proyek sosial untuk mengubah kampung ini menjadi lebih menarik. Dengan dukungan dari perusahaan cat Indana Paint, mereka berhasil mewarnai seluruh rumah di kampung ini dengan berbagai warna cerah dan mural artistik.

Upaya ini tidak hanya meningkatkan estetika lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan warga melalui sektor pariwisata. Sejak saat itu, Kampung Warna-Warni Jodipan menjadi daya tarik wisata yang ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.

Saat Ini sebagai Destinasi Wisata Bersejarah

Sebagai salah satu kampung tematik pertama di Indonesia, Jodipan telah menjadi bagian dari sejarah urban Kota Malang. Keunikan kampung ini terletak pada kombinasi warna cerah, seni mural, dan jembatan kaca yang menghubungkan Jodipan dengan Kampung Tridi. Berbagai spot foto menarik tersebar di seluruh area kampung, menjadikannya favorit bagi wisatawan yang ingin mengabadikan momen dengan latar yang Instagramable.

Selain menikmati keindahan visual kampung, pengunjung juga dapat berinteraksi dengan warga lokal, mencicipi kuliner khas, serta mempelajari bagaimana kampung ini berubah dari lingkungan kumuh menjadi destinasi wisata yang sukses.

Akses Menuju Lokasi untuk Wisatawan Lokal dan Mancanegara

Kampung Warna-Warni Jodipan memiliki akses yang mudah karena berada di pusat kota. Dari Stasiun Malang Kota Baru, wisatawan bisa berjalan kaki sekitar 10 menit atau menggunakan transportasi daring. Jika menggunakan kendaraan pribadi atau taksi, waktu tempuh dari Alun-Alun Kota Malang ke Jodipan sekitar 10-15 menit.

Bagi wisatawan yang datang dari luar kota melalui Bandara Abdul Rachman Saleh, perjalanan ke Jodipan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan kendaraan. Jika menggunakan angkutan kota (angkot), wisatawan bisa naik angkot dengan rute yang melewati Jalan Gatot Subroto, lalu berjalan kaki menuju kampung.

Dengan akses yang mudah, keindahan warna-warni yang memukau, serta sejarah transformasi yang inspiratif, Kampung Warna-Warni Jodipan menjadi salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi di Kota Malang.
_____________________________________________


Kota Malang memang kaya akan warisan sejarah yang tak ternilai harganya. Setiap tempat yang telah kita bahas, mulai dari candi-candi yang megah hingga museum dan bangunan ikonik, memberikan kita kesempatan untuk merenung sejenak tentang perjalanan panjang kota ini. Mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Malang bukan hanya soal menikmati pemandangan, tetapi juga memahami lebih dalam tentang budaya dan sejarah yang membentuknya. Semoga artikel ini menginspirasi Anda untuk merencanakan perjalanan ke Kota Malang dan mengeksplorasi segala keindahan serta nilai sejarah yang ada di dalamnya.


Belum ada Komentar untuk "Tempat wisata bersejarah di kota malang: Dari candi, museum hingga bangunan ikonik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel